Menakar Perwujudan Kesejahteraan Sosial
Sepanjang 2019, sejumlah indikator kesejahteraan sosial menunjukkan perbaikan. Namun, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial pada tahun ini justru turun dibandingkan tahun 2018.
Sejumlah persoalan menyangkut penanganan kemiskinan, pencemaran lingkungan hidup, pendidikan, dan layanan kesehatan masih mewarnai pencapaian pembangunan sosial tahun ini. Lantas, bagaimana capaian kesejahteraan sosial pada 2019 serta apa persoalan yang masih melingkupi dan menjadi pekerjaan rumah untuk tahun mendatang?
Upaya pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan menuai hasil menggembirakan pada tahun ini. Angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2019 berada di angka 9,41 persen atau menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 9,82 persen. Penurunan angka kemiskinan tak lepas dari sistem perlindungan sosial dan investasi pada bantuan sosial yang menjadi prioritas pemerintah. Salah satunya berupa penambahan jumlah penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH).
Pada 2019, indeks bantuan sosial keluarga penerima manfaat PKH meningkat hingga 100 persen sesuai dengan kondisionalitas keluarga. Adapun jumlah penerima manfaat PKH mencapai 10 juta jiwa. Kendati angka kemiskinan turun di bawah 10 persen, angka tersebut belum sesuai target. Pasalnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang disusun pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan penurunan angka kemiskinan ke 7-8 persen, atau 2,96-3,96 persen pada 2019.
Berdasarkan catatan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), setidaknya masih ada delapan provinsi dengan tingkat kemiskinan absolut melebihi 1,5 kali kemiskinan nasional atau 14,12 persen. Delapan provinsi itu adalah Aceh (15,3 persen), Bengkulu (15,2 persen), NTB (14,6 persen), NTT (21,1 persen), Gorontalo (15,5 persen), Maluku (17,7 persen), Papua (22,2 persen), dan Papua Barat (27,5 persen).
Di mata publik, sejumlah program bantuan sosial yang digulirkan tersebut belum mampu sepenuhnya mengangkat warga miskin dari jerat kemiskinan. Jaring pengaman sosial yang disediakan belum berdampak signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan. Berbagai program yang dijalankan dianggap belum mengatasi kerentanan seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok lansia, penyandang disabilitas, dan kelompok usia kerja secara komprehensif.
Hasil survei Litbang Kompas juga memperlihatkan masih rendahnya apresiasi publik terkait dengan kinerja pemerintah mengatasi kemiskinan. Sentimen positif hanya disuarakan kurang dari separuh responden (45 persen) pada periode Oktober 2019, naik 2,9 persen dibandingkan survei pada Oktober 2018. Dibandingkan aspek lain bidang kesejahteraan sosial, penilaian publik terhadap penanganan kemiskinan terhitung yang terendah.
Pada masa mendatang, upaya mengatasi kemiskinan semakin menghadapi tantangan. Laju penurunan kemiskinan kian melambat seiring jumlah penduduk miskin yang semakin sedikit. Mereka tinggal di daerah terpencil sehingga belum merasakan dan memanfaatkan bantuan sosial secara optimal.
Dalam kondisi seperti itu, penanganan kemiskinan tidak cukup hanya diatasi dengan program jaring pengaman sosial. Masyarakat miskin juga perlu diberi akses terhadap modal untuk dapat keluar dari garis kemiskinan.
Pendidikan
Di sektor pendidikan, pemerintah mengalokasikan anggaran cukup besar bagi peningkatan kualitas. Sepanjang kepemimpinan Presiden Jokowi, alokasi anggaran pendidikan memenuhi target sekurang-kurangnya 20 persen dari belanja negara. Tahun ini, anggaran pendidikan mencapai Rp 492,4 triliun, naik dari tahun 2018, yakni Rp 444,1 triliun.
Besarnya alokasi anggaran pendidikan mencerminkan upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di sektor pendidikan. Namun, apakah anggaran tersebut membantu pemerintah untuk memenuhi target di sektor pendidikan pada tahun ini? Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, rata-rata lama sekolah meningkat walau tak mencapai target wajib belajar 12 tahun.
Rata-rata lama sekolah pada 2018 mencapai 8,17 tahun, setara dengan kelas II SMP atau sederajat. Angka ini belum memenuhi target Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar 8,7 tahun. Hal itu sesungguhnya menunjukkan ada kemajuan di Indonesia, tetapi tidak cepat.
Distribusi guru hingga tahun 2019 juga belum merata. Kendati Indonesia kelebihan guru, kenyataannya masih terdapat sekolah yang kekurangan guru, terutama di daerah terpencil dan tertinggal. Bahkan, setelah melibatkan guru tidak tetap sekalipun, tetap masih terjadi kekurangan guru.
Persebaran guru tampaknya perlu dievaluasi sebagai salah satu rujukan pemerataan kualitas pendidikan. Pemerataan pendidikan tidak cukup hanya dengan memberlakukan sistem zonasi saat penerimaan peserta didik baru. Persoalan penyebaran tenaga pendidik dengan sendirinya berkorelasi dengan proses belajar-mengajar. Penilaian tentang pembelajaran siswa Indonesia di jenjang pendidikan dasar belum menggembirakan.
Peringkat Indonesia dalam penguasaan remaja berusia 15 tahun terhadap keupayaan sains, membaca, dan matematika (PISA) masih di lapisan bawah. Posisi Indonesia pada 2018 menempati urutan ke-72 dari 77 negara yang disurvei oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Kemampuan siswa di Indonesia dalam tiga tahun terakhir melorot, mengingat dalam PISA 2015, Indonesia berada di posisi ke-62 dari 72 negara.
Di mata publik, upaya pemerintah memperbaiki kualitas pendidikan masih mendapat apresiasi 69,8 persen dari responden pada survei Oktober tahun ini, turun sedikit dibandingkan periode yang sama tahun lalu (70,4 persen). Adapun program wajib belajar 12 tahun meraih penilaian positif yang tinggi (72,3 persen), meningkat dibandingkan Oktober tahun lalu (70 persen). Apresiasi tersebut tampaknya sejalan dengan jangkauan program di level masyarakat. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan Kartu Indonesia Pintar akan dibagikan kepada 20,1 juta siswa pada 2019.
Kesehatan
Pada layanan kesehatan, pemerataan akses diwujudkan lewat Kartu Indonesia Sehat dan penyempurnaan sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Layanan BPJS Kesehatan telah menjangkau 221,2 juta warga Indonesia yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) hingga September 2019, termasuk 92,15 juta warga miskin penerima bantuan iuran.
Namun, sistem jaminan kesehatan yang dikelola BPJS masih menyisakan persoalan pembengkakan defisit anggaran. Hingga kini, BPJS belum bisa menekan defisit meski pemerintah telah mengeluarkan dana hingga Rp 115 triliun untuk memberikan subsidi iuran bagi 150 juta penduduk.
Tunggakan BPJS Kesehatan berdampak pada menurunnya kualitas layanan di rumah sakit, sebagai akibat dari pegawai rumah sakit terlambat menerima honor. Menurut Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, akar masalah BPJS Kesehatan terletak antara lain pada banyaknya layanan berlebihan atau tak sesuai diagnosis penyakit sehingga tagihan membengkak. Kementerian Kesehatan dan manajemen BPJS Kesehatan terus memperbaiki tata kelola aspek keuangan demi meningkatkan kualitas layanan.
Kendati masih ada persoalan tata kelola program JKN-KIS, di mata publik, upaya pemerintah meningkatkan layanan kesehatan diapresiasi oleh 61,4 persen pada Oktober tahun ini, turun 6,5 persen dibandingkan survei pada Oktober tahun lalu. Apabila dihitung rata-rata selama lima tahun, apresiasi publik terhadap layanan kesehatan mencapai 69,95 persen.
Mengatasi persoalan tersebut, pemerintah akan menekan tagihan rumah sakit pada BPJS Kesehatan dengan memperketat pemberian tindakan bagi peserta JKN-KIS. Pemerintah melalui peraturan presiden tanggal 24 Oktober 2019 juga memutuskan menaikkan iuran kepesertaan JKN-KIS. Pada saat yang sama, upaya promotif-preventif perlu terus dilakukan agar tak kian membebani biaya kesehatan.
Lingkungan Hidup
Untuk sektor lingkungan hidup, kerusakan lingkungan, termasuk masalah kebakaran hutan dan lahan, masih menjadi sorotan sepanjang tahun ini. Masyarakat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua mengalami dampak buruk selama beberapa minggu akibat kebakaran hutan serta lahan yang terjadi tahun ini.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada Januari-Oktober 2019 tercatat 943.770 hektar. Dibandingkan jumlah titik panas dari satelit NOAA, untuk tahun 2019 (per 4 Desember), ada 8.944 titik panas, meningkat tajam dibandingkan tahun 2018, yaitu 4.613 titik. Kebakaran tahun ini terburuk sejak tahun 2016.
Menurut hasil survei Litbang Kompas, persoalan penanganan pencemaran dan kerusakan lingkungan masih mendapat sorotan tajam. Sentimen positif publik pada Oktober 2019 terkait dengan aspek ini hanya 52,6 persen, lebih rendah 6,1 persen dibandingkan Oktober tahun lalu.
Publik berharap, dalam periode kedua pemerintahan Jokowi, persoalan kebakaran hutan bisa lebih diantisipasi dan diselesaikan. Setiap pemerintah daerah diharapkan memiliki kesatuan pengelolaan hutan yang kapasitasnya terus ditingkatkan. Para petugasnya diharapkan lebih dilatih sedemikian rupa agar bisa lebih aktif. Sejauh ini, dari 550 kesatuan pengelolaan hutan, hanya 40 persen yang aktif melakukan kegiatan pencegahan kebakaran lahan dan lahan. (Litbang Kompas)