Indonesia Perlu Perbaiki Perekonomian Domestik Agar Terhindar Resesi
Menjelang tahun 2020, ancaman resesi ekonomi global mulai datang membayangi. Negara besar diproyeksikan mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah 2 persen sehingga memengaruhi negara berkembang.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menjelang tahun 2020, ancaman resesi ekonomi global mulai datang membayangi. Negara besar diproyeksikan mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah 2 persen sehingga memengaruhi negara berkembang. Indonesia perlu memperbaiki perekonomian domestik untuk menghadapi ancaman ini.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meluncurkan Catatan Akhir Tahun 2019. Analisis yang ditulis oleh ekonom Aviliani, Eisha Maghfiruha Rachbini, dan Esther Sri Astuti ini menyebutkan, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan pemangku kepentingan dalam mewaspadai ancaman resesi ekonomi global.
“Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan pada 5 persen berkat konsumsi. Ekspor menurun karena terpengaruh penurunan harga komoditas dan perang dagang. Investasi tumbuh melambat menjadi 4,21 persen pada triwulan III/2019 dari 5,01 persen pada triwulan II/2019,” demikian bunyi Catatan Akhir Tahun yang diterima Kompas di Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Di saat yang bersamaan, kapasitas fiskal pemerintah semakin sempit. Sejak 2016, proporsi belanja modal menunjukkan tren penurunan, yaitu turun menjadi 11,59 persen pada 2019 dari 14,02 persen pada 2018. Bahkan, realisasi belanja modal terhadap target APBN saat ini baru mencapai 63,11 persen. Dengan kata lain, pemerintah perlu melakukan efisiensi belanja barang dan belanja pegawai untuk meningkatkan belanja modal.
Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya porsi pembayaran bunga utang menjadi 16,88 persen pada 2019. Ruang gerak pemerintah menjadi terbatas sehingga perlu ada manajemen pembayaran bunga utang yang lebih baik.
“Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah belanja bantuan sosial terus meningkat, tetapi tingkat kemiskinan telah menurun. Realisasi penerimaan pajak juga menurun sehingga mengganggu stimulus pemerintah,” tulis mereka.
Implementasi program yang telah ada, yaitu dana desa (DD), juga belum efektif sebab hanya digunakan untuk membangun infrastruktur ketimbang pemberdayaan masyarakat. Pertumbuhan jumlah penduduk miskin di pedesaan selama empat tahun terakhir turun rata-rata 2,7 persen per tahun. Dibandingkan dengan sebelum adanya program ini, pemerintah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan rata-rata 3,1 persen per tahun.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan kartu Pra-Kerja diperkirakan belum optimal mengurangi pengangguran. “Sertifikat yang dikeluarkan setelah mengikuti program kartu Pra-Kerja belum menjamin peserta terserap oleh pasar tenaga kerja mengingat dunia usaha belum dilibatkan dalam program ini, “ tuturnya.
Utang pemerintah saat ini didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN), yaitu sekitar 83 persen dari total utang per September 2019. Persoalannya, kepemilikan SBN semakin didominasi oleh non-residen. Hal ini membuat perekonomian rentan terhadap goncangan pasar global.
Kepemilikan Surat Berharga Negara semakin didominasi oleh non-residen. Hal ini membuat perekonomian rentan terhadap goncangan pasar global.
Adapun para ekonom berpendapat, tren lain yang perlu diwaspadai adalah peningkatan utang perusahaan BUMN non-finansial. Utang BUMN non-finansial melonjak sejak triwulan II/2018. “Perlu ada manajemen pembayaran utang yang baik. Sudah saatnya BUMN berbagi tugas dengan perusahaan swasta domestik dalam pembangunan infrastruktur agar lebih efisien,” ujar mereka.
Kredit dan bank
Catatan Akhir Tahun Indef menyebutkan, penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia tidak menjamin kredit produktif akan meningkat. Kredit juga masih tumbuh single digit akibat rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) tinggi sehingga bank sangat selektif dalam menyalurkan kredit.
“Ketika suku bunga acuan turun, bank tidak bisa langsung merespons dan perlu menyesuaikan suku bunga deposito baru. Selain itu, perbankan sedang menghadapi ketatnya likuiditas, akibat perebutan dana dengan obligasi pemerintah, sehingga bank perlu mempertahankan suku bunga deposito tinggi untuk mendorong dana pihak ketiga (DPK),” ujar mereka.
Untuk itu, pemerintah dan bank perlu bersinergi agar tidak terjadi perebutan dana. Selain itu, pemerintah perlu memberikan stimulus APBN terhadap sektor-sektor produktif. Sebagai contoh, pemerintah telah menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tetapi belum membantu UMKM menjual produk.
Pengamat juga menilai, dengan mempertimbangkan ukuran dan kapasitas yang ada, bank di Indonesia idealnya hanya berjumlah 50-70 bank. Jumlah bank saat ini di atas 100 bank sehingga persaingan memperebutkan DPK menjadi tidak seimbang.
Penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia tidak menjamin kredit produktif akan meningkat. Kredit juga masih tumbuh single digit akibat rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) tinggi sehingga bank sangat selektif dalam menyalurkan kredit.
Pemangku kepentingan memang telah mengimbau agar bank-bank berkonsolidasi. Namun, Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang Konsolidasi Bank Umum yang mengatur modal inti dari sebesar Rp 1 triliun per 2020 naik bertahap menjadi Rp 3 triliun per 2022 untuk proses konsolidasi bank dinilai terlalu besar.
“OJK perlu memberikan relaksasi pada bank yang akan membeli bank umum. Regulasi terkait proses pembelian bank umum juga dapat dibuat lebih ringkas sehingga jangka waktu pembelian cepat. Selain itu, perlu pendekatan khusus bagi bank-bank umum yang enggan berkonsolidasi,” bunyi analisis tersebut.
Di tengah masalah tersebut, keberadaan perusahaan rintisan bidang teknologi finansial mewarnai industri layanan jasa keuangan. Perusahaan tekfin harus berkolaborasi dengan perbankan dan perusahaan e-dagang guna menciptakan sebuah ekosistem pendukung yang menopang keberadaan perusahaan tekfin itu sendiri. Kebijakan BI dan OJK perlu diatur agar memenuhi kebutuhan perusahaan tekfin di masa depan.