Daun kelor pernah membuat Nasrin Muhtar alias Nas (47) nyaris putus asa karena dibohongi calon mitra. Namun, semangat ‘Minus 5’ mengantarnya menjadi pengusaha sukses.
Oleh
Khaerul Anwar
·4 menit baca
Daun kelor pernah membuat Nasrin Muhtar alias Nas (47) nyaris putus asa karena dibohongi calon mitra. Namun, semangat ‘Minus 5’ mengantarnya menjadi pengusaha sukses. Produknya kini menembus pasar dalam dan luar negeri.
Warga Jalan Sakura Raya Blok Komplek Perumahan BTN Indah Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat itu menyatakan bahwa modalnya berbisnis adalah "Minus 5".
"Minus 5", menurut Nasrin, merupakan representasi dirinya, antara lain seorang lulusan sekolah menengah pertama yang menurutnya mustahil jadi pemimpin perusahaan. Ia juga merasa bukan seorang wirausahawan yang memiliki kemampuan manajerial untuk berbisnis.
Saat tinggal di Mataram tahun 1993, setelah sempat merantau ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan Surabaya, Jawa Timur, Nas juga tidak memiliki kerabat atau kenalan yang memberi saran dan bantuan untuk memulai usaha. Waktu itu modalnya Rp 1,5 juta, sepertiganya untuk modal membuat jamu dan sisanya untuk sewa rumah.
Selain itu, produk usaha dengan bahan baku daun kelor (Moringa oleifera) tidak popular ketika itu. Daun kelor lebih sering jadi ‘penghuni’ dapur dan meja makan dalam wujud sayur bening.
Ketika produknya mulai menembus pasar, Nas dihadapkan pada persoalan. Seorang warga negara Jerman datang dan minta dikirim satu ton daun kelor kering secara rutin setiap bulan ke negaranya. Keduanya sepakat, pesanan akan dikirim dari Lombok ke Surabaya dan Jeman, Februari-Maret 2017.
Oleh karena terbilang besar, Nas meminta petani di kampungnya di Desa Malaju, Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa, mengumpulkan dan mengirim daun kelor secepatnya ke Mataram. Nas memberi uang muka kepada petani dan berjanji akan melunasinya menjelang ekspor.
Hasilnya, 10 karung daun kelor menumpuk di gudang, sang pemesan asal Jerman hilang tanpa kabar, transfer uang sisa pembayaran tidak ada, sementara warga terus menelpon saban hari minta pembayaran.
Titik balik
Dalam suasana jengkel berhari-hari itu, Nas berselancar di dunia maya dan menemukan manfaat tanaman kelor atau parongge dalam Bahasa Mbojo Bima-Dompu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) malah menyebutnya ‘pohon ajaib’ karena akar, kulit, getah, ranting, daun, bunga, buah, dan bijinya, bermanfaat untuk kesehatan.
Dari internet dan telusur pustaka, Nas menemukan 300 khasiat daun kelor, antara lain untuk mengatasi hipertensi, diabetes, kista, reumatik, asam urat, kolesterol, serta memperbaiki fungsi pencernaan, hati, dan jantung.
Daun kelor yang batal dikirim itu akhirnya dia olah menjadi ramuan herbal. Daun kelor itu digiling, diekstrak, dan dicampur dengan daun pandan. Daun pandan dinilai mengandung senyawa fitokimia alami yang bersifat antibakteri.
Hasil ekstrak dimasukkan ke dalam oven bersuhu 400 derajat celcius, lalu dikemas dalam kaleng ukuran 150 gram, dan diberi merek "SasamboDom" yang berarti Sasak, Samawa, Mojo, dan Dompu. Selain menjualnya secara langsung, Nas memasarkan produknya melalui toko daring serta memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Instagram.
Setiap kaleng produk SasamboDom dijual dengan harga Rp 150.000. Pada tahun 2017, Nas sempat mengirim 500 kaleng ke Taiwan melalui agen di Surabaya, Jawa Timur.
Kemasan
Atas permintaan konsumen, Nas melakukan inovasi, yakni mengemas produknya dalam bentuk saset, seperti halnya teh celup, sehingga disebut "teh". Pengemasan ke kantong saset awalnya digarap secara manual oleh 10 tenaga kerjanya, mulai dari menggunting kertas, memasukkan ekstrak kelor ke kantong, menyelipkan benang di bagian atas kantong, hingga memasang logo kertas di ujung benang sebagai pegangan.
Pada akhir tahun 2018, sebagian keuntungan dia pakai untuk membeli mesin yang bisa mengemas 42.000 saset per jam, jauh di atas kapasitas manual yang 500 saset per hari.
Saat ini, ada 200 toko yang tersebar di NTB, Surabaya, Bandung, dan Jakarta yang memasarkan produknya. Selain Teh Moringa Kidom, dia membuat produk teh herbal Morikai (Moringa Kilo Asli Indonesia atau dalam Bahasa Mbojo berarti sumber kehidupan) untuk ekspor. Belakangan dia juga membuat masker wajah dari daun kelor.
Nasrin memerlukan 20 ton daun kelor kering yang biasa disuplai oleh sekitar 300 petani. Para petani itu mengelola 30 hektar lahannya secara tumpangsari. Nas biasanya membeli daun kelor basah seharga Rp 2.000 per kilogram. Namun, tahun ini dia mengirim alat pengayak dan mesin pemroses ke kampung halaman yang dia jadikan sebagai sentra tanaman dan produksi minuman herbal daun kelor.
Upaya itu ditempuh guna memperbaiki kehidupan warga desanya. Seperti warga kebanyakan desa itu, Nas lahir dari ayah-ibu yang bekerja sebagai buruh tani. Secara geografis, Desa Malaju yang berjarak 49 kilometer dari pusat Kabupaten Dompu itu bertanah gersang dengan dominasi sabana dan perbukitan.
Kini Nas telah membayar tuntas apa yang disebutnya dengan ‘Minus 5’. Selain menyelesaikan pendidikan sampai program magister dan menggaji 10 karyawan, dia juga sering diundang menjadi pembicara dalam diskusi dan seminar kewirausahaan.