Kondisi ekonomi global yang melambat dipastikan berimbas ke perekonomian Indonesia. Namun, ekonomi Indonesia diperkirakan stabil, terutama disokong oleh konsumsi yang berkontribusi sekitar 56 persen terhadap pertumbuhan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kondisi ekonomi global yang melambat dipastikan berimbas ke perekonomian Indonesia. Dalam rangka mempertahankan pertumbuhan ekonomi, pemerintah diharapkan menjaga konsumsi masyarakat agar tidak turun.
Hal itu terungkap di dalam Diskusi Publik “Ekonomi Perempuan: Mewaspadai Resesi Ekonomi Global” yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Jumat (20/12/2019), di Jakarta.
Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti mengatakan, perang dagang yang terjadi tidak hanya berdampak pada Amerika Serikat dan China, tetapi juga negara lainnya termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan hanya akan sebesar 3 persen, sementara tahun lalu dapat mencapai 3,6 persen.
Namun demikian, ekonomi Indonesia tetap stabil karena komponen terbesar yang mendukung ekonomi bukanlah ekspor dan impor, melainkan konsumsi. Konsumsi berkontribusi sekitar 56 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Maka kalau ingin tumbuh stabil di 5 persenan ya jangan ganggu konsumsi karena konsumsi adalah komponen utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Esther.
Namun demikian, menurut Esther, ekonomi Indonesia akan tumbuh sekitar 4,8 persen. Meskipun konsumsi masih menjadi penopang, namun ditengarai terdapat penurunan konsumen untuk kelas menengah.
Peneliti Indef Riza Pujarama berpandangan, dari sisi fiskal, pemerintah perlu meningkatkan belanja modal untuk memberikan stimulus bagi perekonomian. Sebab, dengan memperbesar belanja modal, sektor-sektor produktif akan bergerak yang akan berdampak pada agregat permintaan dan produktivitas.
Sementara Indef mencatat, proporsi belanja modal menunjukkan tren penurunan sejak 2016. Proporsi pada 2019 turun menjadi 11,59 persen dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 14,02 persen. Hal ini juga diikuti rendahnya realisasi belanja modal terhadap target APBN yang baru mencapai 63,11 persen.
Di sisi lain, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 73,47 persen terhadap target APBN 2019 atau mengalami penurunan dibanding 2018. “Kenapa bisa turun? Ada indikasi ke arah deindustrialisasi sehingga kontribusi pajak menurun,” kata Riza.
Menurut peneliti Indef lain, Mirah Midadan Fahmid, dana desa yang digelontorkan sejak 2015 tampak belum efektif untuk mengurangi ketimpangan maupun membantu masyarakat petani di perdesaan. Pertumbuhan penduduk miskin di perdesaan rata-rata menurun 2,7 persen dalam empat tahun terakhir. Sebelum ada dana desa, jumlah penduduk miskin di perdesaan dapat diturunkan rata-rata 3,1 persen.
Angka ketimpangan di perdesaan yang diukur dengan rasio gini sebelum ada dana desa rata-rata sebesar 0,23. Setelah ada dana desa, rata-rata rasio gini hanya 0,22 selama 4 tahun terakhir.
“Seharusnya dana desa digunakan untuk memberdayakan masyarakat, yakni dengan menciptakan wirausahawan-wirausahawan baru yang dapat menciptakan bisnis baru untuk meningkatkan ekonomi di desa,” kata Mirah.
Ekonom Senior Indef Aviliani berpandangan, mata uang rupiah masih rentan karena ditopang oleh dana jangka pendek yang masuk melalui portofolio. Dana tersebut mudah masuk sekaligus juga mudah untuk keluar.
Salah satu cara cepat untuk mendatangkan devisa adalah melalui pariwisata. Oleh karena itu dia berharap pemerintah serius untuk membuat pariwisata sebagai salah satu motor ekonomi Indonesia ke depan.