Ide dan Kreativitas Menarik Investor
Ide dan kreativitas yang tanpa batas menjadi daya tarik bagi investor. Pemodal tak hanya melirik industri di bidang teknologi, namun juga industri kreatif.
Industri kreatif menjadi salah satu sektor yang dianggap menjanjikan di masa depan. Potensi sektor ini di Indonesia mulai terasa, termasuk di benak investor. Daya tarik tiada henti ini membuat investor tertarik untuk menempatkan dana di berbagai subsektor, baik secara langsung maupun melalui aplikasi digital.
Perusahaan jaringan nonwaralaba ritel minuman kopi cepat saji, Kopi Kenangan, baru-baru ini mengumumkan telah menerima suntikan investasi seri A tambahan sebesar 20 juta dollar AS. Putaran pengumpulan pendanaan ini dipimpin perusahaan modal ventura populer dan dikenal banyak berinvestasi di perusahaan rintisan bidang teknologi, yaitu Sequoia India. Selain itu, masih ada beberapa investor lain yang terlibat, di antaranya Arrive dan Serena Ventures.
Arrive adalah salah satu perusahaan di bawah Roc Nation. Adapun Roc Nation merupakan perusahaan manajemen hiburan dan penerbitan musik yang didirikan Jay-Z, penyanyi rap papan atas Amerika Serikat. Perusahaan ini telah berinvestasi di Ethos, Robinhood, dan Manticore Games.
Sementara, Serena Ventures didirikan ikon petenis dunia Serena Williams. Portofolio investasinya ada di 30 perusahaan, antara lain perusahaan perdagangan secara elektronik atau e-dagang, mode, dan kebugaran.
Kopi Kenangan didirikan James Prananto, Edward Tirtanata, dan Cynthia Chaerunnisa. Misi awal mereka menjadikan kopi itu untuk mengisi kesenjangan antara minuman kopi mahal yang ditawarkan peritel internasional dengan kopi instan yang dijual di kedai-kedai pinggir jalan.
Kopi Kenangan berdiri pada 2017. Semula, Kopi Kenangan hanya memiliki 16 gerai dan menyajikan beberapa ribu gelas minuman kopi per hari. Investor pertama mereka adalah perusahaan modal ventura Alpha JWC Ventures yang menyuntikkan dana tahap awal.
Kini, setelah dua tahun berdiri, Kopi Kenangan memiliki lebih dari 200 gerai di 18 kabupaten/kota di Indonesia dan memroses pesanan lebih dari tiga juta minuman kopi per bulan. Rencananya, dana tambahan Seri A akan digunakan untuk menambah gerai hingga menjadi lebih dari 1.000 gerai dan berekspansi ke Asia Tenggara dalam waktu dua tahun.
Di ranah industri minuman kopi di Tanah Air, ada pemain lain yang juga memperoleh suntikan investasi dari perusahaan modal ventura, yakni Fore Coffee. Pada September 2018, Fore menerima pendanaan tahap awal dari East Ventures yang sekaligus menjadi pembina.
Empat bulan berselang, yakni Januari 2019, Fore Coffee kembali mendapat suntikan investasi lanjutan dari East Ventures dan sejumlah pemodal ventura serta angel investor. Para pemilik modal itu di antaranya SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, dan Insignia Ventures Partners.
Nilai investasinya diperkirakan 8,5 juta dollar AS. Dana ini digunakan untuk mempercepat inovasi penjualan dalam jaringan ke luar jaringan dan belanja mesin teknologi kopi.
Sama seperti Kopi Kenangan, pengembangan gerai Fore Coffee juga dilakukan tanpa konsep waralaba. Lokasi gerai tersebar di Jabodetabek.
Bisnis dua merek kopi tersebut membuktikan, perusahaan modal ventura yang selama ini lebih dikenal masyarakat gemar berinvestasi ke perusahaan rintisan bidang teknologi, ternyata juga menyuntikkan dana ke bidang non-teknologi. Di sektor industri film, misalnya, salah satu perusahaan modal ventura yang terlibat sebagai investor adalah Ideosource.
Film
Managing Partner Ideosource, Andi S Boediman, dalam tulisan opininya di platform Medium, Oktober 2017, mengatakan, berdasarkan laporan tahunan MPAA, Indonesia adalah pasar ke-15 untuk film Hollywood dengan nilai 300 juta dollar AS. Jumlah film impor berkisar 200-275 film setiap tahun, yang terus bertambah setiap tahun. Jumlah ini di atas film Indonesia yang sekitar 120 film.
Ada empat genre film yang terbukti memiliki pasar konsisten yaitu komedi, drama, horor, dan drama muslim.
Dari sisi suplai, pelaku industri film cukup terfragmentasi. Keberadaan layar di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebab, lokasi bioskop kebanyakan di dalam pusat perbelanjaan. Sementara, aplikasi internet untuk pemutar video beraliran langsung bervariasi, dengan sasaran penonton berbeda-beda. Penjualan secara daring juga berkontribusi signifikan.
Berangkat dari gambaran ekosistem industri film Indonesia tersebut, Andi berkeyakinan, industri film merupakan industri yang layak investasi melalui strategi portofolio investasi. Industri ini juga dinilai memenuhi skala investasi jika investor berani berinvestasi pada keseluruhan rantai ekosistem.
Andi menambahkan, berinvestasi di sektor industri apa pun, pada hakikatnya, mesti memahami manajemen risiko. Ia mencontohkan, jika berinvestasi di film, maka investor perlu berinvestasi di 11 film sebelum mendapatkan 1 film laris dengan jumlah penonton di atas 1 juta orang.
Bagi investor, merupakan langkah yang sangat berisiko jika hanya berinvestasi di satu film. Berinvestasi sekaligus di 10 film erupakan strategi manajemen risiko yang baik karena keuntungan dari film laris akan menutup kerugian yang mungkin ditanggung dari film yang tidak laris.
Ideosource Film Fund telah berinvestasi di beberapa film Indonesia sejak Oktober 2017. Film-film itu di antaranta Ayat-ayat Cinta 2 dari MD Entertainment, Kulari Ke Pantai dari Miles Film, Aruna & Lidahnya dari Palari Films, dan Keluarga Cemara dari Visinema.
"Investasi adalah tentang manajemen risiko, bukan mencari keuntungan. Kalau kita bisa menghindari risiko rugi, maka pasti untung. Perlu lolaborasi dengan pelaku industri yang telah memiliki rekam jejak positif dan melihat rasio biaya produksi dengan pemasaran dan tingkat pengembalian," kata Andi, beberapa waktu lalu.
Persoalan
Pemerintah, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak lama menyerukan persoalan yang dialami sebagian besar pelaku ekonomi kreatif, yakni kesulitan mengakses pembiayaan, khususnya dari perbankan. Penyebab utamanya, pelaku ekonomi kreatif tidak sanggup memenuhi syarat jaminan berupa aset fisik. Sebagian besar pelaku hanya memiliki aset nonfisik, yakni berupa hak kekayaan intelektual (HKI).
Selama 2016-2019, Bekraf menggelar sejumlah kegiatan sosialisasi yang memfasilitasi pelaku ekonomi kreatif dengan investor, perusahaan modal ventura, dan perbankan. Secara khusus terkait perbankan, menurut Bekraf, belum banyak yang memahami model bisnis pelaku ekonomi kreatif. Dengan demikian, pertemuan itu bersifat edukasi.
Bekraf beberapa kali bertemu Otoritas Jasa Keuangan untuk membahas kemungkinan HKI sebagai jaminan dalam memperoleh pembiayaan, khususnya dari bank. Namun, Bekraf mengapresiasi berbagai upaya investor, baik perusahaan modal ventura maupun angle investor, yang menyuntikkan investasi bagi pelaku ekonomi kreatif.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, pemakaian HKI untuk mengakses pembiayaan ikut disebutkan dan memungkinkan terjadi. Meski demikian, pelaksanaannya tidak mudah.
CEO Danumaya Dipa, perusahaan konsultan hak kekayaan intelektual (HKI) karya kreatif, Robby Wahyudi, berpendapat, pemahaman masyarakat terhadap HKI masih rendah. Kondisi ini ditambah pengetahuan pelaku usaha terhadap hukum dan tenaga ahli yang masih terbatas. Mekanisme standar penghitungan valuasi HKI juga belum terbentuk di Indonesia.
Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ari Juliano Gema menuturkan, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik dan Bekraf pada 2016, baru sekitar 11 persen pelaku usaha ekonomi kreatif memiliki HKI terdaftar, seperti merek, paten, dan desain industri. Jumlah unit usaha ekonomi kreatif sesuai survei itu sekitar 8,2 juta.
Ari mengakui, pembiayaan menggunakan jaminan HKI bukan sesuatu yang final karena masih ada sumber pendanaan lain yang bisa diakses. Subsektor yang paling siap merealisasikan pembiayaan menggunakan jaminan HKI adalah musik. Sebab, sudah ada manajemen kolektif royalti di antara pelaku industri musik.
Terkait ekonomi kreatif, Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye, dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos pada 2014, menyebutkan, ekonomi kreatif akan membuka peluang besar bagi semua pemodal ventura. Pemodal ventura, yang memiliki keahlian membiayai dan mengevaluasi perusahaan rintisan, dapat menjadi fasilitator yang efektif dalam ekonomi kreatif.
Mengutip Forbes di artikel What Venture Capitalist See for 2020 (6 Desember 2019), sejumlah perusahaan modal ventura akan tetap berinvestasi di teknologi sebagai hal yang amat menarik, seperti kecerdasan buatan, perangkat lunak, dan komputasi awan.
Sementara, Chief Executive and Comptroller General Intellectual Property Office Inggris, Tim Moss, dalam laporan Using Intellectual Property to Access Growth Funding (2018), mengatakan, bisnis yang kaya HKI akan semakin diandalkan. Aset itu digunakan untuk mengakses dan mengamankan pendanaan agar bisnis terus tumbuh.
Bahkan, Inggris sudah membentuk kantor HKI. Laporan itu menyebutkan, kantor HKI bekerja sama dengan British Business Bank membedah peluang dan tantangan pembiayaan berbasis HKI.
Sebagian besar ekonomi maju saat ini dan masa depan akan sangat berbasis layanan. Hal itu juga kerap kali disebut ekonomi berdasar pada pengetahuan. Pada saat bersamaan, investasi bergeser dari aset berwujud ke aset tak berwujud. Kekayaan intelektual dan ide yang direalisasikan telah menarik investor untuk turut terlibat di dalamnya.