Produk Asuransi Jiwasraya ”Saving Plan” Bermasalah
Investasi yang didapat dari pemegang polis baru tidak dimasukkan ke instrumen investasi, seperti saham atau reksadana. Uang investasi baru itu justru digunakan untuk membayar jatuh tempo polis lama.
Oleh
Karina Isna Ismawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menghentikan sementara penawaran produk asuransi tabungan rencana (saving plan) mulai Oktober 2018. Produk asuransi ini dianggap sebagai sumber masalah gagal bayar polis, ditambah tata kelola investasi yang juga bermasalah.
Mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Asmawi Syam mengungkapkan, produk asuransi tabungan rencana atau disebut JS Saving Plan yang ditawarkan sejak 2012 bermasalah. Imbal hasil yang ditawarkan terlalu tinggi dan risiko investasi sepenuhnya ditanggung perusahaan asuransi.
Dengan minimal investasi Rp 100 juta, pemegang polis JS Saving Plan akan mendapatkan imbal hasil mencapai 13 persen pada 2013. Imbal hasil berangsur turun menjadi 9 persen tahun 2018. Jatuh tempo JS Saving Plan hanya satu tahun, tetapi pemegang polis mendapat jaminan asuransi jiwa selama lima tahun.
”Kondisi itu menimbulkan mismatch antara aset dan kewajiban perusahaan. Investasi juga tidak bisa dicairkan karena harga saham anjlok dan tidak likuid,” ujar Asmawi, di Jakarta, Jumat (27/12/2019). Asmawi menjabat sebagai Dirut Jiwasraya pada Agustus-November 2018.
Pada Oktober 2018, Asmawi mengumumkan Jiwasraya gagal bayar polis JS Saving Plan sebesar Rp 802 miliar. Menurut Asmawi, saat itu rasio solvabilitas (risk based capital/RBC) Jiwasraya sudah negatif. Likuiditas Jiwasraya tidak lagi cukup membayar polis JS Saving Plan yang jatuh tempo setiap tahun.
Sebelum diumumkan gagal bayar polis, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beberapa kali menerbitkan surat pengesahan cadangan premi dengan nilai Rp 5,05 triliun untuk tahun 2017, Rp 10,9 triliun tahun 2016, dan Rp 3,8 triliun tahun 2015. OJK sempat merevisi pengesahan cadangan premi Jiwasraya tahun 2017 pasca-pengumuman gagal bayar.
”Semua surat cadangan premi yang diterbitkan OJK tidak cukup sehingga gagal bayar tetap terjadi,” kata Asmawi.
Saham tidak prospektif
Asmawi mengungkapkan, tata kelola investasi Jiwasraya bermasalah selama bertahun-tahun. Investasi yang didapat dari pemegang polis baru tidak dimasukkan ke instrumen investasi, seperti saham atau reksadana. Uang investasi baru itu justru digunakan untuk membayar jatuh tempo polis lama.
Skema pembayaran gali lubang-tutup lubang terjadi pasca-aset di pasar saham anjlok. Manajer investasi Jiwasraya menempatkan modal dalam saham-saham gorengan atau tidak prospektif.
Berdasarkan infografis yang dibuat Kementerian BUMN, permasalahan likuditas Jiwasraya sudah terjadi sejak 2006. Ekuitas Jiwasraya pada Desember 2006 negatif Rp 3,29 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kemudian mengeluarkan laporan audit terhadap Jiwasraya untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 dengan pendant disclaimer.
Defisit ekuitas Jiwasraya semakin melebar mencapai Rp 6,3 triliun pada 2009. Persoalan keuangan Jiwasraya diatasi dengan kebijakan reasuransi dan revaluasi aset. Walakin, ekuitas sempat surplus Rp 800 miliar, tetapi angka ini bersifat semu dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Upaya penyelamatan
Asmawi menuturkan, paling tidak ada tiga upaya penyelamatan Jiwasraya yang dilakukan selama dua bulan kepemimpinannya, yakni menghentikan pemasaran JS Saving Plan, membangun mekanisme kontrol berbasis teknologi informasi, dan memenuhi kewajiban kepada pemegang polis sesuai keadaan likuiditas.
”Fokus utama ketika saya menjabat adalah pembayaran jatuh tempo polis dan pencairan investasi,” kata Asmawi.
Menurut Asmawi, saat itu belum ada opsi untuk menjual aset bangunan-bangunan bersejarah milik Jiwasraya. Direksi masih fokus meningkatkan nilai aset untuk membayar kewajiban polis. Jiwasraya memiliki beberapa gedung bersejarah di sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Medan.
Di bulan yang sama, Oktober 2018, pasca-mengumumkan Jiwasraya gagal bayar polis JS Saving Plan, Asmawi dicopot dari jabatannya sebagai dirut dan digantikan oleh Hexana Tri Sasongko. Asmawi kemudian menjabat sebagai Staf Khusus Menteri BUMN Rini Soemarno.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandi menuturkan, koordinasi dengan Kementerian BUMN sebagai pemegang saham penting untuk menentukan solusi. ”Perusahaan ini, kan, ada pemegang sahamnya. Koordinasi regulator dan pemegang saham diperkuat agar solusi sejalan dengan regulasi,” ujarnya.
Saat ini Jiwasraya tengah menghadapi dua persoalan, yakni seretnya likuiditas dan defisit modal. ”Kami sedang mencari solusi terbaik. Soal jual anak usaha dan sebagainya merupakan bagian dari solusi yang sedang dikaji,” ujar Riswinandi.
Dalam rapat dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/12/2019), Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menyatakan, pihaknya tidak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran polis nasabah senilai Rp 12,4 triliun per Desember 2019.