Berbagai hambatan usaha perlu diatasi agar budidaya lobster bisa efisien. Kita tentu berharap Indonesia tidak terus tertinggal di sektor ini.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ke beberapa lokasi pembesaran lobster di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pekan lalu, dimaknai sebagai langkah awal mendorong budidaya lobster di Indonesia.
Langkah itu terkait rencana kementerian merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI. Regulasi itu antara lain melarang penangkapan benih lobster untuk ekspor maupun budidaya.
Hingga pengujung tahun 2019, pemerintah menyatakan masih menyerap masukan masyarakat terkait benih lobster. Ada dua alternatif yang dikaji, yakni melegalkan ekspor benih lobster serta melakukan pembesaran atau budidaya. Terkait rencana ekspor benih yang menuai polemik, pemerintah menyebut ekspor benih tidak akan dilakukan jika budidaya lobster di dalam negeri bisa didorong. (Kompas 27/12/2019)
Di dunia, budidaya lobster baru sebatas pembesaran benih. Benih hasil tangkapan dari alam dibesarkan hingga mencapai ukuran konsumsi. Namun, Indonesia yang merupakan “surga” benih lobster selama ini tertinggal dalam teknologi pembesaran. Jutaan benih lobster justru diselundupkan ke Vietnam setiap tahun.
Vietnam yang maju dalam teknologi pembesaran benih kini menjadi salah satu eksportir terbesar lobster dunia. Dengan kondisi Indonesia yang jauh tertinggal, upaya memulai budidaya lobster di negeri sendiri membutuhkan terobosan dan kerja ekstra keras.
Produksi lobster hasil budidaya di Indonesia pernah menjadi yang terbaik di dunia pada 2013 dengan kontribusi 54,3 persen terhadap produksi dunia. Sementara kontribusi Vietnam 41,9 persen. Namun, budidaya lobster merosot. Pada tahun 2016, kontribusi Indonesia di pasar lobster dunia tinggal 9,6 persen. Sebaliknya, Vietnam melesat hingga 85,3 persen. (Kompas, 19/12/2019)
Indonesia pernah menorehkan keberhasilan pengembangan budidaya komoditas udang. Di masa lalu, komoditas udang juga mengandalkan pasokan dari alam.
Tahap mengembangkan budidaya, yakni melalui pembesaran, pembenihan, pembiakan, dilalui dengan sejumlah terobosan hingga kini menjadikan udang sebagai komoditas unggulan ekspor di Tanah Air.
Pada tahun 1960-an, udang dari alam, yakni jenis udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih (P. marguiensis), masih ditumpangkan (polikultur) di tambak bandeng sebagai sampingan hasil produksi.
Sejalan dengan ditemukannya teknologi pemijahan, pemerintah membangun instalasi pembenihan (hatchery) udang pada tahun 1970, diikuti pendirian balai pengembangan budidaya air payau untuk percepatan budidaya udang.
Pada tahun 1980-an, perintisan budidaya udang berkembang dari teknologi ekstensif (tradisional) menjadi intensif dengan melibatkan peran swasta. Varian jenis udang yang dibudidayakan juga terus bertambah.
Kini, pengembangan budidaya udang telah memasuki skala super-intensif dengan optimalisasi kincir, perbaikan mutu pakan, pengelolaan limbah, hingga teknologi produksi berbasis digital.
Pola serupa kiranya perlu digarap untuk lobster. Penemuan University of Tasmania dalam teknologi perbenihan lobster yang bisa dikembangkan dalam skala komersial menjadi titik terang bagi budidaya lobster. Peta budidaya lobster akan berubah dengan penemuan metode pembenihan.
Langkah lain yang sedang dirintis yakni menyiapkan kawasan percontohan budidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pemerintah menargetkan budidaya lobster terwujud masif dalam lima tahun ke depan. Demi mencapai target ambisius itu, terobosan dan keberpihakan menjadi kata kunci.
Pendataan stok lobster mendesak dituntaskan guna mengatur pengambilan benih di alam yang mendukung sumber daya lestari. Kebutuhan pakan yang bervariasi, seperti kerang-kerangan, ikan rucah, udang, dan kepiting juga harus disiapkan guna mendorong keberhasilan budidaya.
Tak kalah pentingnya, berbagai hambatan usaha perlu diatasi agar budidaya lobster bisa efisien. Hambatan itu di antaranya terkait dengan kesiapan sumber daya manusia, permodalan, logistik benih, perizinan, hingga akses pasar. Selain itu, nelayan benih lobster mesti mendapat untung dalam mata rantai budidaya, antara lain dengan harga benih yang layak.
Terobosan budidaya lobster membutuhkan dukungan semua pihak. Kita tentu berharap Indonesia tidak terus tertinggal.