Indonesia, yang pernah begitu bergantung pada minyak di era 1970-an, lupa dan abai mengembangkan sumber energi lain. Oleh karena itu, perlu transisi menuju energi terbarukan. Sayangnya, transisi tak semudah rencana.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Yusuf Landutana (32) menunjukkan cara pengoperasian mesin penggiling biji jagung. Dalam hitungan detik, mesin menderu dan mengeluarkan remahan biji jagung. Mesin itu bertenaga surya, bukan bahan bakar minyak.
”Dengan mesin ini, kami tak perlu lagi repot menumbuk biji jagung. Selain lebih cepat, hasilnya lebih bagus dan ukuran biji yang seragam,” kata Yusuf di rumahnya di Wala Tungga, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, awal Juli 2019.
Desa Wala Tungga belum terjangkau jaringan listrik PLN. Letaknya terpencil. Jalannya terjal dan berliku dan butuh hampir tiga jam untuk menjangkaunya dengan mobil dari Waingapu, ibu kota Sumba Timur. Namun, alam memberi berkah rakyat Sumba, yakni sinar matahari yang melimpah.
Sejak 2016, Hivos, salah satu lembaga internasional untuk proyek pengembangan energi terbarukan di Sumba, memberikan solusi listrik bagi desa-desa yang belum teraliri listrik PLN. Lembaga itu memberikan lampu tenaga surya untuk penerangan. Namun, warga tak mendapatkannya secara cuma-cuma. Mereka harus membayar sekian ribu rupiah dan iuran bulanan.
Tak hanya di Wala Tungga, warga di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, juga menikmati berkah alam. Warga desa itu bisa disebut sudah mandiri energi. Listrik yang mereka nikmati selama 24 jam dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Untuk memasak, ada biogas dari kotoran ternak yang menggantikan kayu bakar.
”Listrik yang dihasilkan pembangkit mikrohidro melebihi kebutuhan warga. Jadi, sisanya kami jual ke PLN,” kata Umbu Hinggu Panjanji (44), tokoh adat Desa Kamanggih.
Apa yang terjadi di Wala Tungga dan Kamanggih adalah praktik nyata transisi energi yang akhir-akhir ini makin gencar didengungkan. Mereka sudah melakukan lompatan untuk tidak bergantung pada energi fosil yang kotor ke energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Warga desa-desa itu cerdas memanfaatkan potensi yang ada.
Indonesia sudah lama bergantung penuh pada energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batubara. Di tengah kesadaran pengurangan efek gas rumah kaca lewat ratifikasi Perjanjian Paris di 2015, Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, antara lain, menetapkan target peran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sedikitnya 23 persen pada 2025.
Menurut Ketua Dewan Penasihat Indonesia Clean Energy Forum Kuntoro Mangkusubroto, Indonesia, yang pernah begitu bergantung pada minyak di era 1970-an, lupa dan abai mengembangkan sumber energi lain. Saat produksi minyak merosot sementara kebutuhan minyak naik drastis, Indonesia didera defisit neraca perdagangan migas.
Sayangnya, transisi tak semudah rencana.
Oleh karena itu, perlu transisi menuju energi terbarukan. Sayangnya, transisi tak semudah rencana. Sampai sekarang, peran energi terbarukan tak sampai 9 persen. Target 23 persen setara penambahan kapasitas sekitar 5.000 megawatt per tahun. Faktanya, pertumbuhannya tak sampai 500 megawatt per tahun.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa, perlu kebijakan yang progresif dan revolusioner untuk pengembangan energi terbarukan yang optimal. Kebijakan pemerintah penting terhadap bagi keberhasilan transisi energi.