Realisasi penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi, yakni solar dan premium, melampaui kuota tahun 2019. Penyimpangan pemakaian di lapangan dinilai menjadi penyebabnya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai 29 Desember 2019, realisasi penyaluran solar bersubsidi mencapai 16 juta kiloliter. Padahal, kuota subsidinya hanya 14,5 juta kiloliter. Adapun penyaluran premium mencapai 11,5 juta kiloliter atau sekitar 4,5 persen lebih tinggi dari kuota 11 juta kiloliter.
“Kuota solar bersubsidi sudah jebol sampai 1,5 juta kiloliter atau setara Rp 3 triliun tahun ini,” kata Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Fanshurullah Asa di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Tahun depan, sesuai dana yang dianggarkan dalam APBN 2020, kuota subsidi solar dinaikkan jadi 15,3 juta kiloliter. Dengan asumsi pertumbuhan sama dengan tahun 2019, kuota subsidi solar diperkirakan terlampaui dengan kelebihan sekitar 700.000 kiloliter.
Fanshurullah menyebut salah satu penyebab terlampauinya kuota subsidi adalah penyimpangan di lapangan. “Ada perusahaan swasta yang memakai solar bersubsidi untuk angkutan tambang dan perkebunan. Seharusnya, kan, tidak boleh,” ujarnya.
Menurut dia, BPH Migas sudah usul ke pemerintah untuk merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Pihaknya mengusulkan agar angkutan barang pada kereta api tidak lagi menggunakan solar bersubsidi. Begitu pula kendaraan truk (roda enam) untuk perkebunan dan industri lainnya.
“Untuk kapal ikan, kami mengusulkan hanya kapal nelayan dengan bobot kurang dari 10 gross ton yang diperbolehkan memakai solar bersubsidi. Batasan sebelumnya, kan, di bawah 30 gross ton,” kata Fanshurullah.
Terkait penyimpangan solar bersubsidi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui bahwa hal itu masih kerap terjadi di lapangan. Ia pernah menyaksikan bagaimana praktik tersebut dilakukan, yaitu sebuah kendaraan memborong solar bersubsidi untuk kemudian dibongkar muat. Selanjutnya, kendaraan itu mengisi solar bersubsidi lagi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang sama.
Digitalisasi
“Masih banyak penyimpangan. Ada dua cara (mengatasinya), yaitu mengajak seluruh pihak untuk terlibat dalam pengawasan penyaluran solar bersubsidi dan pemanfaatan teknologi pada setiap SPBU untuk mencatat semua penyaluran bahan bakar bersubsidi,” kata Arifin.
Usulan BPH Migas lainnya adalah menerapkan teknologi digital pada setiap SPBU milik Pertamina selaku badan usaha yang mendistribusikan solar bersubsidi. Teknologi itu mampu mencatat nomor kendaraan pembeli solar bersubsidi sehingga diketahui siapa pemilik kendaraannya. Data pemilik kendaraan akan disesuaikan dengan data pemerintah, apakah mereka berhak memperoleh solar bersubsidi atau tidak.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menyebutkan, dari 5.518 SPBU milik Pertamina, baru sekitar 600 SPBU yang mampu mencatat volume solar subsidi yang terjual dan nomor kendaraan pembeli solar bersubsidi. Jumlah itu termasuk 2.600 SPBU yang terhubung secara digital untuk penjualan solar bersubsidi.
“Kami menargetkan seluruh SPBU Pertamina sudah terhubung secara digital pada triwulan I-2020, baik untuk volume solar bersubsidi yang terjual, nomor kendaraan pembeli, serta layanan pembelian non tunai. Kami bekerja sama dengan beberapa bank BUMN untuk pembayaran nontunai tersebut,” ujar Nicke.
Tak hanya bahan bakar minyak, penyaluran elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara juga mendapat sorotan DPR. Penjualan elpiji bersubsidi yang terbuka membuat siapa saja dapat membelinya di pasaran. Padahal, elpiji 3 kilogram hanya untuk masyarakat miskin yang layak mendapatkan subsidi.
Sejumlah usulan sudah dilontarkan untuk mengendalikan distribusi elpiji 3 kilogram agar benar-benar tepat sasaran. Beberapa hal yang pernah diusulkan adalah pendistribusian tertutup dengan menggunakan kartu beridentitas khusus. Hanya pemegang kartu yang bisa membeli elpiji 3 kilogram bersubsidi tersebut. Namun, sampai kini belum ada realisasi pengendalian distribusinya.