Biodiesel adalah solusi parsial, tetapi penting dan perlu, untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dan gas impor. Namun, persoalan di hulu tetap butuh solusi, khususnya soal birokrasi yang kompleks dan izin berbelit.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Pemerintah tengah mengenalkan solar B-30. Bahan bakar ini merupakan campuran 30 persen biodiesel dari minyak kelapa sawit dan 70 persen solar murni. Harapannya, ketergantungan pada minyak bumi terus berkurang.
Sejatinya, bahan bakar campuran solar dan biodiesel, yang dikenal dengan nama pasar biosolar, sudah dikenalkan ke publik tahun 2015. Kadar biodiesel terus dinaikkan, yakni dari 15 persen (B-15) tahun 2015 dan 2016 menjadi 20 persen (B-20) sampai 2019. Kebijakan B-30 secara resmi diberlakukan mulai 1 Januari 2020.
Pemerintah mengklaim kebijakan B-20 di 2018 mampu menghemat devisa 1,88 miliar dollar AS atau setara Rp 26 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS. Adapun B-30 diperkirakan bisa menghemat devisa sampai 4,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 67 triliun. Tentu jadi kabar baik di tengah defisit neraca perdagangan.
Bila ditelisik ke hulu, akar masalah defisit neraca perdagangan, salah satunya adalah tak seimbangnya produksi minyak mentah dalam negeri dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional. Produksi minyak nasional kurang dari 800.000 barel per hari, sedangkan konsumsinya bisa mencapai 1,5 juta barel per hari. Sisanya tentu impor. Sejak 2014, Indonesia sudah berstatus negara pengimpor minyak.
Nilai tambah
Apakah impor itu salah? Tidak. Banyak negara sangat bergantung dari impor untuk kebutuhan energi primer mereka. Sebut saja Singapura, Jepang, atau Korea Selatan. Mereka adalah negara-negara yang miskin sumber daya energi, tetapi menjelma menjadi negara maju. Data Bank Dunia 2018, produk domestik bruto (GDP) per kapita Jepang 39.290 dollar AS dan Korea Selatan 31.362 dollar AS. Jauh di atas GDP per kapita Indonesia yang 3.893 dollar AS.
Kenapa negara-negara itu menjelma jadi negara maju di tengah miskinnya sumber daya energi? Salah satunya adalah mereka berhasil menciptakan nilai tambah di dalam negeri secara luar biasa. Jepang dan Korea Selatan menjadi kiblat produk-produk berteknologi tinggi. Keduanya juga dikenal sebagai produsen kendaraan bermotor.
Banyak negara sangat bergantung dari impor untuk kebutuhan energi primer mereka.
Indonesia, yang pernah terdaftar sebagai anggota organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) dan pernah tercatat sebagai pengekspor gas alam cair terbesar di dunia, di masa lalu sangat bergantung dari penjualan komoditas sumber daya alam. Semuanya dijual untuk mengumpulkan devisa. Begitu pula mineral tambangnya yang dijual mentah tanpa diolah dan dimurnikan di dalam negeri.
Ternyata strategi itu belum cukup membuat Indonesia jadi negara maju kendati sumber daya alamnya melimpah. Sumber daya alam dianggap komoditas, bukan modal penggerak ekonomi. Belakangan muncul kesadaran untuk mengolah meski agak terlambat.
Kewajiban membangun smelter diterbitkan. Perusahaan tambang harus mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri, tak boleh lagi mengekspornya mentah-mentah. Khusus batubara, sedang dimulai proyek gasifikasi, yaitu memproses batubara menjadi gas.
Bagaimana dengan minyak mentah? Kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar, kendati belum sepenuhnya menyelesaikan masalah defisit, adalah langkah positif. Di sisi lain, sejumlah pihak sudah menyerukan agar pencarian cadangan minyak (eksplorasi) digencarkan. Setelah penemuan lapangan Banyu Urip pada Blok Cepu, Jawa Tengah, di era 2.000-an, sampai sekarang praktis tak ada lagi penemuan sumur minyak raksasa.
Biodiesel adalah solusi parsial, tetapi penting dan perlu. Hanya saja, persoalan di hulu tetap butuh solusi. Penemuan cadangan minyak sangat penting dan mendesak di tengah lambannya pengembangan energi baru dan terbarukan.