Inflasi Terendah, Pelemahan Daya Beli Tetap Diwaspadai
Daya beli melemah karena harga properti terus naik, yang turut memengaruhi harga sewa dan kontrak rumah. Jika harga properti tidak dikontrol, kenaikan tarif sewa dan kontrak rumah mungkin memicu resesi ekonomi.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi pada Januari-Desember 2018 sebesar 2,72 persen dan merupakan yang terendah sejak 2012. Namun, angka inflasi yang rendah mesti diwaspadai karena ada indikasi pelemahan daya beli.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, beberapa komoditas yang memiliki andil paling besar terhadap inflasi 2019 adalah emas perhiasan (0,16 persen), cabai merah (0,15 persen), tarif sewa rumah (0,1 persen), bawang merah (0,1 persen), rokok keretek filter (0,09 persen), tarif kontrak rumah (0,08 persen), bawang putih (0,06 persen), dan upah asisten rumah tangga (0,06 persen).
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/1/2020), mengatakan, ada dua faktor utama yang memengaruhi inflasi rendah. Pertama, harga beberapa komoditas relatif terkendali, terutama beras. Pada 2019, beras tidak termasuk 10 besar komoditas yang memiliki andil dominan terhadap inflasi.
Kedua, kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (administered price) tidak berkontribusi signifikan terhadap inflasi. Sepanjang 2019, pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) seperti pada 2018. Selain itu, harga tiket pesawat yang sempat bergerak liar dapat dikendalikan kendati masih relatif tinggi.
”Faktor-faktor itu yang memengaruhi inflasi tahun ini terendah sejak 2012 dengan perhitungan tahun dasar, komoditas, dan bobot yang sama,” kata Suhariyanto.
Adapun inflasi Desember 2019 sebesar 0,34 persen. Sebanyak 72 kota mengalami inflasi dan 10 kota deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Batam sebesar 1,28 persen, sementara inflasi terendah di Watampone sebesar 0,01 persen. Deflasi tertinggi di Manado sebesar 1,88 persen serta deflasi terendah di Bukittinggi dan Singkawang 0,01 persen.
Ditilik berdasarkan komponen, inflasi inti secara tahunan sebesar 3,02 persen, inflasi harga yang diatur pemerintah 0,51 persen, dan inflasi harga bergejolak 4,3 persen.
Menurut Suhariyanto, pergerakan inflasi inti pada 2019 lebih rendah dibandingkan 2018, yang sebesar 3,07 persen. Kondisi ini mesti diwaspadai karena ada indikasi pelemahan daya beli pada akhir tahun.
Pola yang sama terjadi pada 2017 manakala inflasi inti bergerak melambat dari awal ke akhir tahun. ”Inflasi inti bergerak dari tinggi ke rendah. Ini mesti jadi perhatian untuk menjaga daya beli kendati kondisi masih relatif aman,” kata Suhariyanto.
Pergerakan inflasi inti pada 2019 lebih rendah dibandingkan dengan 2018 yang sebesar 3,07 persen. Kondisi ini mesti diwaspadai karena ada indikasi pelemahan daya beli pada akhir tahun.
Sewa rumah
Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat, inflasi inti adalah cerminan kondisi ekonomi sehingga kerap dikaitkan dengan daya beli. Setidaknya ada dua komponen yang memengaruhi perlambatan inflasi inti pada 2019, yaitu bahan makanan dengan kandungan impor tinggi dan harga sewa/kontrak rumah.
Tarif sewa rumah dan kontrak rumah masuk dalam 10 besar komoditas penyumbang inflasi tertinggi pada 2019, yaitu masing-masing 0,1 persen dan 0,08 persen. Andil tarif sewa rumah terhadap inflasi meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 sebesar 0,09 persen.
”Biaya sewa dan atau kontrak rumah lebih besar dari anggaran rumah tangga lain. Secara keseluruhan pendapatan riil mencukupi, tetapi porsi biaya dua komponen itu meningkat,” ujar Ari.
Biaya sewa dan atau kontrak rumah lebih besar dari anggaran rumah tangga lain. Secara keseluruhan pendapatan riil mencukupi, tetapi porsi biaya dua komponen itu meningkat.
Menurut Ari, pemerintah mesti mewaspadai kenaikan harga properti, terutama di kota-kota besar. Besarnya biaya sewa dan kontrak rumah akan memperpanjang siklus belanja, terutama belanja barang-barang tahan lama.
Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memukul industri manufaktur karena daya beli melemah. Hal serupa kini tengah dialami Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
”Daya beli melemah karena harga properti terus naik, yang turut memengaruhi harga sewa dan kontrak rumah. Jika harga properti tidak dikontrol, kenaikan tarif sewa dan kontrak rumah mungkin memicu resesi ekonomi,” kata Ari.
Dihubungi terpisah, ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Wisnu Wardana, Kamis, mengatakan, pemerintah mesti mewaspadai kenaikan inflasi yang berpotensi terjadi pada 2020 kendati masih dalam batas aman. Kenaikan inflasi ini bersumber dari peningkatan harga beberapa barang/jasa yang diatur pemerintah.
Pada 2020, pemerintah berencana meningkatkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat sebesar 100 persen. Pemerintah juga akan memangkas subsidi solar menjadi Rp 1.000 per liter dan subsidi elpiji 3 kg hingga 22 persen serta meningkatkan cukai rokok menjadi menjadi 23 persen.
Di sisi lain, kata Wisnu, kenaikan beberapa komponen harga yang diatur pemerintah akan dibarengi tren penurunan harga energi dan pangan internasional. Tren inflasi di sejumlah negara juga bergerak rendah karena tekanan dari sisi eksternal cenderung minim.
Kondisi ini menguntungkan bagi Indonesia. ”Secara keseluruhan risiko inflasi pada 2020 cukup seimbang. Inflasi pada 2020 diproyeksikan sekitar 3,39 persen,” kata Wisnu.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menambahkan, kenaikan inflasi pada 2020 masih dalam batas aman karena kondisi pasar global cenderung stabil. Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, memberi sinyal pelonggaran kebijakan moneter tetap berlanjut pada 2020.
Di sisi lain, tekanan kenaikan inflasi juga akan diimbangi dengan beberapa faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi domestik, seperti kenaikan harga komoditas sawit dan batubara, kenaikan penyaluran bantuan sosial, serta kenaikan upah minimum provinsi 8,5 persen.