Peningkatan Ekspor Hasil Hutan Tak Korbankan Kelestarian
Nilai ekspor hasil hutan ditargetkan tumbuh 2-5 persen per tahun hingga 2024. Namun, kelestarian hutan harus tetap dijaga.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan nilai ekspor hasil hutan terus meningkat. Namun, peningkatan ini tidak boleh mengorbankan kelestarian hutan. Kelestarian hutan tetap harus dijaga.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menargetkan, nilai ekspor hasil hutan dapat tumbuh 2-5 persen per tahun sepanjang 2020-2024.
”Namun, pelaku usaha wajib menjaga kelestarian lingkungan, produksi, dan sosial-budaya. Kelestarian hutan harga mati,” katanya dalam diskusi media yang digelar di Jakarta, Jumat (3/1/2020).
Sebagai wujud menjaga kelestarian, Bambang menyatakan, bahan baku produk yang diekspor mesti berasal dari hutan produksi. Selain itu, pelaku usaha yang mengelola hutan produksi tersebut juga wajib mengalokasikan 10 persen dari luas hutan yang dikelola untuk areal konservasi.
Berdasarkan data KLHK, luas kawasan hutan nasional saat ini mencapai 120,6 juta hektar atau 63,02 persen dari luas daratan Indonesia. Kawasan hutan tersebut sebagian besar terdiri dari hutan produksi tetap (29,45 juta hektar), hutan produksi terbatas (26,94 juta hektar), hutan produksi konversi (11,82 juta hektar), hutan lindung (29,49 juta hektar), dan kawasan konservasi (22,85 juta hektar).
Adapun luas hutan produksi yang dimanfaatkan saat ini mencapai 30,6 juta hektar. Pemanfaatan hutan produksi itu terdiri dari hutan tanaman industri (11,29 juta hektar), hutan alam (18,66 juta hektar), dan restorasi ekosistem (622.861 hektar).
Terkait kontribusi ekonomi dari hasil hutan produksi, KLHK mencatat, nilai ekspornya sepanjang 2019 mencapai 11,64 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 162,11 triliun. Adapun investasi yang masuk ke sektor hutan produksi pada 2019 senilai Rp 128,14 triliun.
Sebagai salah satu wujud komitmen terhadap kelestarian hutan, Bambang mencontohkan pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Sertifikasi SVLK ini diakui oleh pasar global, utamanya Uni Eropa. Melalui SVLK, pemerintah memastikan, pasar menerima produk dengan bahan baku kayu yang legal.
Libatkan UMKM
Peningkatan ekspor tersebut tak lepas pula dari cita-cita mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Prinsip SDGs diterapkan melalui keterlibatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam pengelolaan hutan produksi.
Bambang berpendapat, keterlibatan UMKM dalam pengelolaan hutan produksi turut mendukung transformasi perekonomian nasional dan pemerataan ekonomi. Bentuk keterlibatannya berupa kemitraan pelaku usaha dengan UMKM.
Secara konsep, UMKM tersebut berada di hulu dan hilir rantai produksi. Rantai produksi tersebut berada dalam satu kluster tertentu agar pemrosesan produk dapat dilakukan di wilayah yang sama dengan sumber bahan baku dari hasil hutan.
Dalam lima tahun ke depan, Bambang menargetkan, peran UMKM di hilir rantai produksi kian berkembang agar UMKM dapat menikmati nilai tambah dari produk hasil hutan. Oleh karena itu, KLHK kini menyiapkan penyuluh dan pendamping bagi UMKM dalam mengelola hutan produksi serta mengonservasi hutan tersebut.
Dari sisi pelaku usaha, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo menyatakan kesiapannya bermitra dengan UMKM. ”UMKM kini memasok bahan baku untuk industri,” katanya.
Bisnis baru
Untuk mendukung gerakan dunia dalam mengatasi perubahan iklim, Indroyono menyoroti perdagangan karbon (carbon trade) sebagai bisnis baru. Perdagangan karbon dinilai dapat menjadi salah satu langkah Indonesia membuktikan komitmennya dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 atau COP21.
Mekanisme perdagangan karbon bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Konsep umumnya, negara-negara yang menghasilkan emisi gas rumah kaca menyalurkan dana pada negara yang secara alami memiliki sumber daya alam, termasuk hutan, yang mampu menyerap emisi tersebut.
Saat ini, Indroyono menyatakan, pelaku industri perhutanan tengah menghitung volume karbon yang dapat diperdagangkan. Harapannya, hasil perdagangan karbon ini turut mendatangkan devisa bagi negara.
Investasi China
Terkait investasi, Indroyono mengatakan, saat ini 54 perusahaan pengolah kayu dari China berniat berinvestasi di Indonesia. Sebagian besar perusahaan tersebut berada di sektor hilir produksi.
Perusahaan-perusahaan tersebut hendak memindahkan pabriknya dari China lantaran perang dagang dengan AS. Jika perusahaan-perusahaan itu mengekspor dari luar China ke AS, mereka akan dikenai bea masuk yang lebih rendah dibandingkan dengan dari China.
Agar industri hilir produk hasil hutan yang berasal dari dalam negeri tetap berdaya saing di pasar ekspor, Indroyono mengharapkan adanya fasilitas penurunan bea masuk ke China. Hal ini dapat diraih jika ada pembahasan secara bilateral antarpemerintah.