Pemerintah menaikkan kuota impor garam industri tahun ini. Pada saat yang sama, produksi garam rakyat menumpuk tak terserap, harganya pun anjlok. Nasib petambak garam rakyat bak sudah jatuh tertimpa tangga.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menetapkan alokasi kuota impor garam untuk kebutuhan industri sebesar 2,9 juta ton. Kuota impor itu meningkat 200.000 ton dibandingkan tahun lalu.
Pada waktu yang sama, hasil panen garam rakyat mengalami peningkatan. Di pengujung tahun 2019, produksi garam tercatat 2,86 juta ton atau meningkat dibandingkan realisasi 2018 yang mencapai 2,72 juta ton.
Akan tetapi, sekalipun produksi meningkat, harga garam di petambak rakyat terjun bebas hingga ke level Rp 150-250 per kilogram (kg) atau hanya 10 persen dari harga tahun lalu di yang berkisar Rp 1.600 per kg. Nasib petambak garam rakyat bak sudah jatuh tertimpa tangga, penyerapan garam rakyat oleh industri pun belum optimal.
Ketidakpastian pasar terus berlangsung di tengah upaya petambak garam memperbaiki mutu produksi. Saat ini, semakin banyak petambak menerapkan teknologi geomembran, geoisolator, atau ulir filter guna mengontrol mutu. Selain itu, intensifikasi lahan garam melalui integrasi lahan berlangsung di beberapa sentra produksi, seperti di Pulau Jawa, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Di tengah harga panen yang terombang-ambing dan tingkat serapan industri yang belum optimal, usaha tambak garam rakyat kini didera arus garam impor yang menguat. Tanpa solusi yang jelas, usaha pergaraman rakyat dikhawatirkan semakin terpuruk.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman telah menargetkan tercapainya swasembada garam nasional pada tahun 2021, yakni meliputi garam konsumsi dan garam industri untuk aneka pangan.
Target swasembada garam itu telah beberapa kali direvisi dan diundur.
Target swasembada garam itu telah beberapa kali direvisi dan diundur, semula tahun 2015. Namun, target itu tidak tercapai dan diundur menjadi tahun 2016. Akibat anomali cuaca dan ketidaksiapan produksi, target direvisi lagi menjadi tahun 2018. Target kemudian diundur lagi menjadi tahun 2021.
Jika kuota dan arus impor garam industri terus dilebarkan sebagai solusi sesaat, tanpa keberpihakan serius untuk memberdayakan garam rakyat, bangsa ini dikhawatirkan makin sulit mengejar target swasembada garam nasional. Makin tertutup pula ruang pembuktian petambak rakyat untuk ”naik kelas” mengisi kebutuhan industri.
Tahun ini, PT Garam (Persero) mulai mengoperasikan mesin pencucian garam untuk mengolah garam lokal menjadi garam industri. Jika harga garam rakyat yang diserap PT Garam saat ini berkisar Rp 650-Rp 700 per kg, perusahaan itu berencana menjual garam industri hasil olahan di kisaran Rp 1.200-1.500 per kg.
Selangkah lebih maju, upaya BUMN garam itu bisa menjadi solusi mereduksi impor garam industri, meningkatkan penyerapan garam rakyat, dan menstabilkan harga garam rakyat. Persoalan yang muncul, sejauh mana garam industri hasil olahan mampu menyalip garam impor yang dikenal lebih murah dan mudah didapat?
Sebagai ilustrasi, harga impor garam industri di kisaran Rp 600-Rp 650 per kg. Di sinilah negara harus berpihak meningkatkan efisiensi produksi, membenahi logistik dan distribusi, sehingga produksi garam nasional semakin efisien dan petambak lebih sejahtera. Solusi jalan pintas berupa impor saatnya ditekan untuk melindungi nasib petambak garam rakyat.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam telah mengamanatkan perlindungan terhadap pelaku usaha tambak garam.
Inilah momentum untuk membuktikan keberpihakan pemerintah membenahi industri garam nasional, dari hulu hingga hilir.
Keberpihakan negara mengejar swasembada garam nasional untuk industri aneka pangan dan melindungi petambak garam rakyat kiranya jangan mundur lagi dan patut dibuktikan.