Ada tujuh problem yang dinilai masih membelit sektor industri pengolahan nonmigas Tanah Air. Salah satu yang krusial adalah soal ketersediaan dan harga gas untuk sektor industri.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan industri pengolahan nonmigas beberapa tahun terakhir, setidaknya sejak 2016, selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Kementerian Perindustrian menengarai ada tujuh isu utama yang selama ini menjadi masalah yang membelit sektor industri di Tanah Air.
Penyelesaian masalah tak dapat hanya dilakukan oleh Kementerian Perindustrian. ”(Upaya penyelesaian) ini butuh kerja sama, sinergi, koordinasi dari sejumlah kementerian dan lembaga,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin (6/1/2020).
Agus merinci tujuh masalah di sektor industri itu pada temu media terkait kinerja perindustrian pada 2019 dan tinjauan pembangunan sektor industri pada 2020.
Masalah pertama adalah kekurangan bahan baku, seperti kondensat, gas, nafta, dan bijih besi, serta bahan penolong seperti katalis, scrap atau baja bekas, kertas bekas, dan nitrogen. Kedua, kekurangan infrastruktur pelabuhan, jalan, dan kawasan industri. Ketiga, kekurangan utilitas listrik, air, gas, dan pengolah limbah.
Masalah keempat adalah kekurangan tenaga ahli berketerampilan dan pengawas. Kelima, tekanan impor. Keenam, spesifikasi limbah industri untuk kertas bekas dan baja bekas yang terlalu ketat sehingga menyulitkan industri.
Ketujuh, masalah yang dihadapi industri kecil dan menengah, mulai aspek pembiayaan, bahan baku dan bahan penolong, mesin atau peralatan, hingga pemasaran. ”Kalau tujuh isu itu dapat diselesaikan, kami yakin industri dapat tumbuh setinggi harapan,” kata Agus.
Harga gas
Menurut Agus, salah satu langkah penting dalam mendongkrak pertumbuhan industri adalah menjamin ketersediaan pasokan gas dan harga gas yang ideal untuk setiap sektor industri agar berdaya saing kuat. Harga gas maksimal 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) dinilai akan menjadikan industri di Indonesia berdaya saing cukup baik dibandingkan industri di kawasan.
Agus mengatakan, pihaknya memiliki tiga opsi yang akan diusulkan terkait penurunan harga gas sektor industri. Opsi pertama adalah pengurangan porsi pemerintah dari hasil kegiatan K3S (kontraktor kontrak kerja sama).
Apabila porsi pemerintah, yang berdasarkan perhitungan sekitar 2,2 dollar AS per MMBTU dapat dikurangi atau dihilangkan, harga gas yang disalurkan untuk industri otomatis turun. Opsi kedua adalah K3S diwajibkan melakukan domestic market obligation (DMO) gas yang dapat diberikan kepada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Hal ini akan menjamin kuantitas alokasi gas untuk industri dengan harga spot yang saat ini 4,5 dollar AS per MMBTU.
”Opsi ketiga, swasta diberi keleluasaan atau diperbolehkan mengimpor gas, khususnya gas untuk industri. Kalau harga gas sudah sesuai standar di setiap industri, yang menjadikannya berdaya saing tinggi dan pasokannya terjamin, menurut pandangan kami sekitar 30 persen masalah yang ada di industri sudah dapat dirampungkan,” tutur Agus.
Sebagai gambaran, persoalan harga gas yang tinggi ataupun spesifikasi limbah industri yang terlalu ketat selama ini dikeluhkan beberapa pelaku industri di Tanah Air.
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), misalnya, menilai harga gas yang saat ini dibayarkan oleh industri keramik di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan regional dan telah memangkas daya saing.
Sebelumnya, Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menyebutkan, utilisasi industri keramik sudah di bawah 70 persen. ”Artinya, sudah ada pabrik yang berhenti produksi,” katanya.
Sementara itu, Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia menilai, ketidakjelasan aturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri telah menghambat pasokan bahan baku industri kertas.
Pelaku industri pengecoran logam yang tergabung dalam Asosiasi Pengecoran Logam Indonesia pun mengeluhkan Permendag No 84/2019 tersebut. Ketentuan-ketentuan dalam aturan itu menyangkut impor scrap atau besi bekas/rongsokan, menyebabkan mereka berhenti berproduksi.