Setelah pembahasan internal selesai, pemerintah berjanji mengundang asosiasi buruh untuk berdiskusi dan bertukar pendapat. Sebelumnya, buruh merasa tak dilibatkan dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja.
Oleh
MEDIANA/KARINA ISNA IRAWAN/C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kini masih membahas substansi teknis omnibus law untuk Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Setelah pembahasan internal selesai, pemerintah berjanji mengundang asosiasi buruh untuk berdiskusi dan bertukar pendapat.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso di Jakarta, Kamis (9/1/2020), mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja memasuki tahap final di internal pemerintah, yakni antara tim teknis dan 31 kementerian/lembaga terkait.
”Setelah selesai di internal pemerintah, ada proses konsultasi publik dengan pihak terkait, termasuk serikat pekerja atau serikat buruh,” ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah organisasi buruh menilai proses pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja tak melibatkan unsur pekerja. Dengan tidak melibatkan unsur pekerja, mereka khawatir regulasi baru mereduksi hak-hak pekerja, antara lain terkait jaminan sosial, pengupahan, dan hubungan industrial.
Menurut Susiwijono, beberapa serikat pekerja dan serikat buruh sudah dilibatkan di setiap kementerian terkait. Namun, mereka belum dilibatkan dalam pembahasan secara utuh karena menunggu pembahasan di internal pemerintah selesai. ”Kami akan menyiapkan ruang diskusi dan jadwal untuk mengundang asosiasi atau serikat pekerja,” ujarnya.
Pembahasan alot
Ada beberapa kluster yang pembahasan substansi teknisnya cukup alot, seperti ketenagakerjaan. Kamis kemarin, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pihaknya sudah membahas bersama Menteri Hukum dan HAM perihal naskah akademis dan draf RUU Cipta Lapangan Kerja.
Menurut Airlangga, ketenagakerjaan menjadi satu-satunya substansi pembahasan yang belum selesai. Ada beberapa isu yang perlu dibahas lebih lanjut, antara lain terkait izin tenaga kerja, definisi jam kerja, pekerja waktu fleksibel, upah dan pesangon, serta perekrutan dan pemutusan hubungan kerja.
RUU Cipta Lapangan Kerja akan mengakomodasi sejumlah pasal dalam 82 UU yang terdiri atas 1.194 pasal terkait investasi. RUU Cipta Lapangan Kerja akan masuk dalam Program Legislasi Nasional superprioritas pada 2020.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, dalam konteks pekerja migran, salah satu substansi yang dikhawatirkan ikut dilebur dalam RUU Cipta Lapangan Kerja adalah pendirian perusahaan penempatan pekerja migran indonesia (P3MI).
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, persyaratan pendirian P3MI diperketat, seperti P3MI mesti punya rencana kerja penempatan dan perlindungan pekerja migran selama minimal tiga tahun berjalan. ”Kerisauan kami adalah pengaturan seperti itu dihilangkan karena dianggap menghambat investasi,” katanya.
”Dalam konteks pekerja migran, RUU Cipta Lapangan Kerja seharusnya ikut menekankan pada penciptaan lapangan kerja di dalam negeri sehingga pekerja tidak terus-menerus bekerja ke luar negeri, terutama menjadi pekerja sektor domestik. Apalagi, RUU Cipta Lapangan Kerja dikaitkan dengan UMKM, alangkah sangat bagus pemerintah mempertimbangkan penciptaan lapangan kerja buat mereka termasuk purna pekerja migran,” tuturnya.
Berlebihan
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengungkapkan, ada beberapa pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 yang akan diatur kembali di RUU Cipta Lapangan Kerja. Misalnya, upah, pemutusan hubungan kerja, pesangon, pekerja alih daya, pekerja kontrak, dan tenaga kerja asing.
Mengenai upah per jam, khususnya. Pemerintah mengusulkan agar ketentuan upah per jam diusulkan masuk ke RUU Cipta Lapangan Kerja. Ketentuan ini disarankan agar disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sifatnya sementara dalam waktu yang tidak lama.
Apabila penetapan upah per jam diberlakukan ke pekerjaan yang sifatnya tetap, pekerja dan pengusaha akan dirugikan. Hal ini juga akan berbenturan dengan kepastian adanya jam istirahat dan waktu lembur.
Lebih jauh, lanjutnya, hakikat RUU Cipta Lapangan Kerja adalah membuka lapangan kerja bagi pekerja Indonesia, bukan semata-mata menyasar ke tenaga kerja asing. Tujuannya adalah jangan sampai angkatan kerja lokal menjadi ”penonton” saja.
Menurut anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Untung Riyadi, kekhawatiran sebagian pekerja atau buruh terhadap perumusan draf RUU Cipta Lapangan Kerja berlebihan, terutama menyangkut substansi jaminan sosial. Hal ini dikarenakan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional Nomor 40 Tahun 2004 masih tetap diberlakukan.