Bendungan tak hanya menampung air, namun juga bisa bermanfaat untuk irigasi pertanian, pengembangan perikanan, dan pariwisata.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Pasca banjir melanda Jabodetabek pada awal 2020, proyek Bendungan Ciawi dan Sukamahi menjadi sering disebut. Kedua bendungan tersebut memang merupakan bagian dari rencana induk penanggulangan banjir Jakarta.
Berbeda dari bendungan pada umumnya, Bendungan Ciawi dan Sukamahi merupakan bendungan kering (dry dam) yang pertama kali dibangun di Indonesia. Kedua bendungan yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional itu akan difungsikan bukan untuk keperluan irigasi atau air baku, namun menambah kapasitas pengendalian banjir.
Pada saat hujan turun, kedua bendungan ini akan menahan aliran air dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango sebelum sampai ke Bendung Katulampa. Bendungan Ciawi dan Sukamahi akan mengurangi banjir sekitar 111,75 meter kubik per detik atau sekitar 13 persen dari debit air Sungai Ciliwung. Bendungan Ciawi berdaya tampung 6,45 juta meter kubik, sedangkan daya tampung Bendungan Sukamahi 1,68 juta meter kubik.
Dalam kerangka mengurangi aliran banjir ke Sungai Ciliwung, pembangunan kedua bendungan ini bukan langkah satu-satunya. Masih diperlukan langkah lain, di antaranya normalisasi Sungai Ciliwung dan pembangunan Sudetan Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur.
Di Indonesia, kebanyakan bendungan dibangun dengan tujuan ganda, yakni irigasi lahan pertanian, sumber air baku wilayah, pengendalian banjir, dan penghasil listrik. Namun, ada juga manfaat lain, seperti pengembangan perikanan dan pariwisata.
Untuk memenuhi kebutuhan irigasi lahan pertanian, kapasitas tampung bendungan dibandingkan dengan lahan pertanian memang masih terbatas. Dari sekitar 7,3 juta hektar lahan irigasi teknis, baru sekitar 11 persen yang kebutuhan airnya dipasok bendungan sampai dengan 2015.
Jika program pembangunan 65 bendungan yang direncanakan pemerintah selesai, lahan irigasi teknis yang kebutuhan airnya dipasok bendungan menjadi 20 persen dari total luas lahan.
Namun, bendungan memerlukan infrastruktur irigasi yang secara administratif dikelola 3 pihak, yakni irigasi primer oleh pemerintah pusat (lebih dari 3.000 hektar), irigasi sekunder oleh pemerintah provinsi (1.000 hektar-3.000 hektar), dan irigasi tersier oleh pemerintah kabupaten/kota (kurang dari 1.000 hektar). Tanpa jaringan memadai, fungsi irigasi tidak berjalan maksimal.
Fungsi lain bendungan adalah sebagai sumber air baku. Jumlah penduduk yang semakin banyak meningkatkan kebutuhan air bersih. Selama ini, bendungan yang memasok air baku bagi Jakarta adalah Bendungan Jatiluhur. Rencananya, sumber pasokan akan ditambah dari Bendungan Karian yang sedang dibangun. Nantinya, Bendungan Karian juga akan menyuplai air baku untuk wilayah Serang dan Tangerang Selatan (Banten) serta Jakarta.
Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian menjadi tantangan tersendiri. Pada 1998-2002, luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi non-pertanian rata-rata mencapai 110.000 hektar per tahun.
Sementara, alih fungsi lahan di daerah tangkapan air bendungan juga mengancam fungsi bendungan. Selain air yang akan ditampung menjadi tidak maksimal karena kawasan hulu rusak, lumpur juga hanyut terbawa aliran air. Lumpur yang masuk ke bendungan mengendap sehingga bendungan menjadi dangkal.
Secara teknis, pembangunan bendungan juga memerlukan keahlian dan tahapan yang kompleks. Risiko yang ada dalam pembangunan infrastruktur mesti diminimalisasi. Dari sisi biaya, pembangunan bendungan memerlukan biaya cukup besar. Akan tetapi, manfaat bendungan dapat dirasakan masyarakat luas.