Revisi Aturan Impor Limbah Indikasikan Kurangnya Koordinasi Lintas Kementerian
Pemerintah kembali merevisi regulasi tentang ketentuan impor limbah non-bahan berbahaya dan beracun sebagai bahan baku industri. Revisi ini dinilai menyiratkan kurangnya koordinasi lintas kementerian.
Oleh
m paschalia judith j
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kembali merevisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 84 Tahun 2019 menjadi Permendag Nomor 92 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Revisi ini dinilai menyiratkan kurangnya koordinasi lintas kementerian dalam mengatur importasi limbah tersebut.
Direktur Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia Felicita Yanti menyatakan, revisi aturan tersebut menandakan masing-masing kementerian memiliki misi tersendiri. Artinya, kebijakan setiap kementerian terkait tidak terintegrasi.
”Seharusnya kementerian-kementerian yang terlibat duduk bersama dan mempertimbangkan kebutuhan industri,” kata Felicita kepada Kompas di Jakarta, Jumat (10/12/2020).
Revisi aturan tersebut menandakan masing-masing kementerian memiliki misi tersendiri. Artinya, kebijakan setiap kementerian terkait tidak terintegrasi.
Sebelumnya, Permendag Nomor 84 Tahun 2019 menggugurkan Permendag Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Penyusunan aturan ini turut melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Perindustrian.
Dalam Permendag Nomor 92 Tahun 2019, definisi homogen diselipkan dalam Pasal 7a. Pasal itu menyatakan, homogen berarti kelompok material limbah non-B3 sebagai bahan baku industri yang sejenis dan tidak bercampur dengan kelompok material limbah non-B3 lain.
Sifat homogen menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi limbah non-B3 yang menjadi obyek impor. Dalam lampiran Permendag Nomor 92 Tahun 2019, material-material limbah non-B3 digolongkan menjadi kelompok kertas, logam, plastik, karet, tekstil dan produk tekstil, serta kaca.
Permendag Nomor 92 Tahun 2019 Pasal 3 juga mewajibkan limbah non-B3 yang diimpor bukan sampah dan tidak tercampur sampah serta tidak terkontaminasi B3 dan limbah B3. Kriteria tersebut didefinisikan dengan kondisi bersih dan tidak tercampur dengan tanah.
Menurut Felicita, dalam praktiknya, kriteria dan syarat tersebut tak mungkin dipenuhi karena ada faktor impuritas atau barang bawaan yang tidak bisa dikendalikan. Akibat dari definisi tersebut, sejumlah pelaku usaha yang bergerak di bidang daur ulang plastik tidak dapat beroperasi, bahkan tutup.
Bahan baku untuk daur ulang plastik dapat diperoleh dari dalam negeri asalkan pemerintah sudah berhasil menerapkan pengelolaan sampah. ”Pengelolaan sampah berarti pemisahan sampah sejak dari hulunya, salah satunya rumah tangga. Dampaknya, sampah dari material yang berbeda-beda tidak saling tercampur,” tuturnya.
Dalam praktiknya, kriteria dan syarat tersebut tak mungkin dipenuhi karena ada faktor impuritas atau barang bawaan yang tidak bisa dikendalikan. Akibatnya, sejumlah pelaku usaha yang bergerak di bidang daur ulang plastik tidak dapat beroperasi.
Gejala pelaku usaha yang tak lagi beroperasi juga dinyatakan Wakil Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Ismail Mandry. Kekurangan bahan baku dari impor limbah non-B3 berupa skrap karena ketentuan bersih dan homogen menjadi penyebabnya.
Ismail menuturkan, rata-rata volume impor skrap baja sebanyak 300.000-400.000 ton per bulan untuk diproduksi menjadi billet yang kemudian dipanaskan menjadi produk jadi. Jika skrap baja dibatasi, pelaku industri mesti membeli billet baja yang harganya 100 dollar Amerika Serikat (AS) per ton lebih mahal.
Billet adalah baja batangan yang dibuat dari hasil pengecoran bijih besi (pig iron) maupun besi bekas yang dilebur dengan temperatur tertentu serta dituang dalam cetakan ukuran tertentu.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana menyatakan, revisi aturan tidak membahas impuritas. Impuritas merupakan ranah pembahasan KLHK.
Meski demikian, pada saat pengawasan pelaksanaan di lapangan, akan ada toleransi terhadap limbah non-B3 yang menjadi obyek impor. Standar internasional dapat menjadi acuan.
Menurut Direktur Eksekutif Asosial Pulp dan Kertas Indonesia Liana Bratasida, pemerintah mestinya mencantumkan ketentuan homogen seperti yang tertera pada Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI). Ketentuan dari ISRI dapat berlaku secara global.
Permendag Nomor 92 Tahun 2019 juga memperketat eksportir dari negara asal. Hal ini tertuang dalam Pasal 5 Ayat (1) yang menyebutkan eksportir limbah non-B3 mesti memiliki bukti yang diterbitkan otoritas yang berwenang di negara asal yang ditandasahkan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Selain itu, Permendag Nomor 92 Tahun 2019 juga turut mengubah aturan terkait pengangkutan. Pasal 4 Permendag tersebut membedakan perlakuan pengangkutan berdasarkan pengemasan. Limbah non-B3 yang tidak dikemas dalam kontainer wajib diangkut secara langsung dari pelabuhan muat ke pelabuhan tujuan.
Sebelumnya, dalam Permendag Nomor 84 Tahun 2019 Pasal 3 Ayat (4), impor limbah non-B3 wajib diangkut secara langsung (direct shipment).
Dalam permendag baru ditegaskan juga, apabila limbah dikemas dalam kontainer, pengangkutan dapat dilakukan secara transit. Namun, tidak ada kegiatan pembukaan segel (seal) kontainer di pelabuhan transit yang dibuktikan dengan nomor kontainer dan nomor segel dari surveyor.
Jika ada pelanggaran ketentuan tersebut, importir wajib mengekspor kembali. Jangka waktunya paling lama 90 hari sejak kedantangan barang berdasarkan dokumen manifes.
Jika ada pelanggaran ketentuan tersebut, importir wajib mengekspor kembali. Jangka waktunya paling lama 90 hari sejak kedantangan barang berdasarkan dokumen manifes.
Selain itu, dalam permendag baru juga terdapat tambahan pelabuhan tujuan impor limbah non-B3 yang terdiri dari Pelabuhan Weda di Halmahera Tengah, Cigading di Cilegon, Bahodopi di Morowali, dan Bitung di Bitung.
Adapun daftar pelabuhan yang sudah tertera sebelumnya adalah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Soekarno-Hatta di Makassar, Belawan di Medan, Batu Ampar di Batam, Teluk Lamong di Surabaya, dan Merak di Cilegon.