OJK: Lembaga Asuransi Wajib Melaporkan Jenis Instrumen Investasi
Sejumlah kasus gagal kelola investasi pada lembaga asuransi mendorong OJK mereformasi mekanisme pengawasan industri keuangan nonbank. Lembaga asuransi ke depan wajib melaporkan jenis-jenis instrumen investasi.
Oleh
dimas waraditya nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kasus gagal kelola investasi pada lembaga asuransi mendorong Otoritas Jasa Keuangan mereformasi mekanisme pengawasan industri keuangan nonbank. Lembaga asuransi ke depan wajib melaporkan jenis-jenis instrumen investasi mereka kepada regulator.
Selain PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri diduga lalai dalam mengelola dana investasi. Buntut dari kelalaian ini membuat BUMN pengelola dana pensiun anggota TNI itu mengalami kerugian yang jika ditaksir mencapai Rp 10 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, seluruh eksposur dari instrumen investasi industri keuangan nonbank wajib dilaporkan secara detail kepada OJK. Hal ini merupakan bagian dari pengawasan berbasis risiko (risk based supervision).
”OJK akan membuat jelas aturan ini agar laporan (lembaga asuransi kepada OJK) bukan hanya soal posisi neraca keuangan, tetapi juga instrumen investasi apa saja yang digunakan,” ujar Wimboh.
OJK akan membuat jelas aturan ini agar laporan (lembaga asuransi kepada OJK) bukan hanya soal posisi neraca keuangan, tetapi juga instrumen investasi apa saja yang digunakan.
Wimboh menyampaikan hal itu seusai menghadiri pelantikan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebagai anggota Dewan Komisioner OJK ex officio Kementerian Keuangan, di Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (13/1/2019).
Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asabri, pada Pasal 54 disebutkan, Asabri diawasi beberapa lembaga pengawas eksternal, yakni Inspektorat Jenderal Kementerian Pertahanan, Inspektorat Pengawasan Umum Polri, dan Inspektorat Jenderal TNI.
Di luar itu, terdapat juga lembaga lain yang turut mengawasi Asabri, yakni Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan auditor independen.
”Meski OJK bukan pengawas eksternal Asabri sesuai dengan PP No 102/2015, OJK tetap berkoordinasi dengan lembaga terkait atas pengawasan kinerja Asabri,” kata Wimboh.
Senada dengan Wimboh, Wakil Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan, mekanisme pengawasan terhadap industri lembaga keuangan nonbank perlu disempurnakan. Hal itu penting agar otoritas bisa membaca potensi masalah yang mungkin timbul.
”Selama ini, audit telah dilakukan. Namun, sinyal potensi dari lembaga keuangan akan mengalami perburukan atau tidak belum mampu ditangkap dengan baik. Ini yang mesti kita sempurnakan,” tuturnya.
Mekanisme pengawasan terhadap industri lembaga keuangan nonbank perlu disempurnakan. Hal itu penting agar otoritas bisa membaca potensi masalah yang mungkin timbul.
Sepanjang periode Desember 2018 hingga September 2019, Asabri memiliki investasi pada 12 emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan data RTI Infokom, rata-rata penurunan nilai saham dari ke-12 emiten dalam periode tersebut sebesar 62,24 persen.
Ke-12 emiten tersebut adalah PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), PT Indofarma Tbk (INAF), PT Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL), dan PT Prima Cakrawala Abadi Tbk (PCAR). Selain itu, PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE), PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA), PT SMR Utama Tbk (SMRU), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Sidomulyo Selaras Tbk (SDMU), dan PT Island Concepts Indonesia Tbk (ICON).
Potensi kerugian
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo membenarkan adanya kerugian dari portofolio sisi saham Asabri. Saat ini jumlahnya masih dalam penghitungan bersama BPK.
”Saat ini sedang kita kaji, sedang kita lihat karena nilai (kerugian)-nya bergerak terus,” lanjutnya.
BUMN membenarkan adanya kerugian dari portofolio sisi saham Asabri. Saat ini jumlahnya masih dalam penghitungan bersama BPK.
Kartika mengatakan tengah mencari opsi terbaik untuk menyelesaikan kegagalan investasi yang menjerat Asabri. Opsi tersebut perlu dipertimbangkan secara matang mengingat Asabri merupakan asuransi sosial, berbeda dengan Jiwasraya.
”Penanganannya beda. Asabri, kan, asuransi sosial, bukan asuransi privat. Jadi tidak bisa dengan konsep business to business, agak sulit karena mereka asuransi sosial,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, pengamat industri asuransi Irvan Rahardjo menilai, meski memiliki model kelembagaan yang berbeda dengan lembaga asuransi swasta, upaya pemerintah menangani polemik investasi yang tengah menjerat Asabri tetap harus sama.
”Penyelesaiannya tetap sama saja. Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Penanganan Lembaga Keuangan, tidak ada lagi bail-out (suntikan modal) dari pemerintah atau perbankan. Yang ada adalah penanganan internal, misalnya bisa dengan suntikan modal dari investor di luar pemerintah dan perbankan,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Irvan, meski secara hukum OJK tidak berkewajiban mengawasi Asabri, sebagai otoritas lembaga keuangan OJK tetap bisa memaksa Asabri untuk membuat laporan keuangan yang terakhir dibuat pada triwulan IV-2017.
”November 2019 OJK memberi rekomendasi Asabri untuk memperbaiki keuangan setelah mengetahui ada potensi penurunan aset investasi hingga Rp 7 triliun. Artinya, OJK juga bisa memberi rekomendasi agar Asabri memublikasikan laporan keuangan,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan resmi yang diterima Kompas, Direktur Utama Asabri Sonny Widjaja mengakui, hasil investasi perusahaan mengalami penurunan nilai karena kondisi pasar modal yang cenderung fluktuatif.
Meski demikian, dalam melakukan penempatan investasi, Asabri mengklaim tetap mengedepankan kepentingan perusahaan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Terlebih, perseroan juga selalu mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik.