Telaah Gaji dan Motivasi Bekerja
Apakah Anda termasuk pekerja profesional yang bekerja karena gaji semata? Iming-iming gaji tinggi bukan alasan utama kaum profesional untuk tetap termotivasi bekerja di tempat kerja semula. atau berpindah ke pekerjaan baru. Ada faktor-faktor lain terkait kenyamanan, peluang karier, atau keseimbangan hidup dalam menentukan keputusan.
Hal itu tecermin dalam laporan konsultan perekrutan profesional Robert Walters dalam Robert Walters Salary Survey 2020 sebagaimana dikutip Kompas (21/11/2019). Robert Walters Group tak lain perusahaan perekrutan pekerja profesional tingkat global, yang melakukan survei per tahun di puluhan negara untuk memetakan tingkat gaji kalangan profesional, atau pekerja kelompok manajemen.
Di Indonesia, ada tujuh bidang pekerjaan yang dinilai meliputi teknologi dan transformasi, akuntansi dan keuangan, perbankan dan layanan keuangan, hukum, sumber daya manusia, sales-marketing, serta rantai pasok, pengadaan, dan manufaktur. Para responden, yakni pekerja profesional, berada di berbagai level, mulai dari data scientist hingga chief technology officer (CTO), dari internal auditor hingga chief financial officer.
Kisaran gaji para responden yang disurvei Robert Walter cukup mengejutkan jika dilihat dari rata-rata penghasilan pekerja Indonesia. Dengan pola menghitung gaji bersih selama setahun di luar bonus, gaji terendah yang tertera di laman itu, antara Rp 200 juta dan Rp 400 juta, atau sekitar Rp 16 juta sampai Rp 33 juta per bulan.
Gaji sebesar itu diterima misalnya oleh para supply chain analyst, manajer media sosial, manajer UI/UX, data scientist, systems engineer, konsultan perpajakan, analis keuangan, akuntan, dan assistant procurement manager.
Lain lagi dengan tingkat gaji para responden dengan embel- embel jabatan head, chief, director, vice president, senior, dan general manager, yang rata-rata dimulai dengan besaran sekitar Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar per tahun, atau Rp 83 juta hingga Rp 125 juta per bulan. Gaji itu pun masih di luar bonus atau tambahan fasilitas lainnya.
Artinya, 806 kaum profesional yang menjadi responden dalam survei Robert Walter merupakan kalangan pekerja ”kerah putih” atau pekerja formal kelas menengah atas jika dilihat dari hierarki struktur penghasilan kaum pekerja di Indonesia. Mengapa demikian, karena besaran gaji atau upah yang diterima pekerja sektor formal di Indonesia ternyata jauh lebih rendah.
Ambil contoh dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas BPS) 2019 menunjukkan, rata-rata upah pekerja terendah Indonesia adalah Rp 1,77 juta sebulan yang diterima kalangan tenaga kerja formal bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Adapun yang tertinggi rata-rata Rp 6,54 juta yang diterima pekerja golongan manajemen (kepemimpinan).
Kalangan pekerja kerah putih tampaknya berorientasi hingga skala global dalam upaya mencari kenaikan gaji dan peluang kerja. Adapun para pekerja formal yang dipotret dalam Sakernas masih terbatas dengan tingkat upah minimum provinsi (UMP), dan itu pun memiliki kesenjangan antardaerah. Ambil contoh UMP DKI Jakarta 2019 yang mencapai Rp 3,9 juta sebulan sangat senjang dengan UMP Provinsi DIY yang ”hanya” Rp 1,6 juta sebulan.
Dengan karakteristik gaji pekerja formal Indonesia yang masih berada pada tahapan tingkat penghasilan yang tergolong survival semacam itu, motivasi untuk bekerja, bertahan pada pekerjaan, ataupun alasan mencari pekerjaan baru tentunya cukup berbeda dengan kalangan kerah putih dalam survei Robert Walter.
Motivasi kaum profesional
Responden survei Robert Walter, yaitu para profesional, memiliki tingkat kepuasan bekerja yang dilandasi motivasi beragam. Meski secara umum motivasi orang bekerja adalah untuk mendapatkan upah, untuk kelas pekerja profesional tampaknya pilihan-pilihan itu lebih terbuka.
Para profesional bidang hukum dan rantai pasok menyatakan puas bekerja karena soal remunerasi ataupun manfaat lainnya (misalnya, bonus atau fasilitas). Sementara itu, responden bidang akuntansi serta sales marketing mendasarkan alasan kepuasan bekerja karena keseimbangan antara hidup dan bekerja. Berbeda lagi responden profesional bidang perbankan dan SDM yang mendasarkan alasan kepuasan bekerja, utamanya karena kultur dan lingkungan pekerjaan.
Namun, jika alasan kepuasan bekerja lebih beragam, alasan untuk keputusan berpindah pekerjaan/posisi kerja banyak didasarkan pada soal mendasar orang bekerja, yakni imbalan gaji dan fasilitas yang diterima responden. Dari tujuh sektor bidang pekerjaan itu, ada tiga sektor/bidang yang menyatakan alasan pindah kerja karena soal gaji dan/atau fasilitas (kompensasi).
Para profesional bidang teknologi, SDM, dan rantai pasok lebih banyak yang menjadikan aspek kompensasi sebagai alasan motivasi untuk pindah pekerjaan. Adapun responden bidang akuntansi, hukum, dan perbankan menyatakan motivasi berpindah pekerjaan adalah demi memperbaiki karier.
Dilihat dari motivasi kaum profesional untuk pindah, tampak bahwa benang merah alasan pindah kerja lebih pada aspek gaji/kompensasi yang diterima dan peluang karier. Sementara alasan soal kenyamanan kerja dan budaya perusahaan tak lagi dominan di semua sektor pekerjaan.
Hal ini bisa dimaknai bahwa pada saat kaum pekerja profesional ingin berpindah kerja, dia tak lagi melihat aspek nonmateriil (kenyamanan bekerja, keseimbangan hidup, ataupun kultur perusahaan) sebagai pertimbangan terpenting, tetapi lebih pada aspek material (gaji dan manfaat).
Motivasi dominan
Ukuran seberapa lama seorang pekerja profesional bertahan di suatu posisi pekerjaan tertentu diukur oleh survei Robert Walter dalam dua tahun. Hasilnya, sektor teknologi dan transformasi yang digadang-gadang sebagai sektor strategis di era digital kini menjadi yang tercepat mengalami turn over karyawan, dengan angka 31 persen profesional bertahan dalam waktu kurang dari dua tahun di suatu posisi tertentu.
Sementara pekerja profesional bidang akuntansi menjadi yang paling sedikit yang bertahan kurang dari 2 tahun di posisi tertentu, dengan persentase 17 persen. Atau dengan bahasa awam, profesional bidang akuntansi relatif lebih ”betah atau loyal” ketimbang karyawan bidang teknologi. Sementara profesional bidang teknologi cenderung lebih ”tidak betah” alias mudah hengkang dari tempat bekerja.
Namun, hasil survei ini tak merinci lebih jauh latar belakang dan konteks dari masing-masing pernyataan responden setiap sektor, termasuk juga tak tersedia keterangan tentang bagaimana pemaknaan karier pekerja profesional yang bertahan hingga lebih dari 10 tahun atau bahkan 20 tahun kerja terhadap perusahaannya. Apakah temuan-temuan itu akan tetap relevan? Belum tentu.
Meski demikian, bagaimanapun hasil survei ini mengindikasikan motivasi bekerja dari berbagai sektor profesional saat ini, dengan masa kerja di atas 3 tahun, menunjukkan bahwa aspek materiil berupa gaji/upah dan manfaat lain menjadi pendorong yang lebih dominan ketimbang aspek nonmateriil (keseimbangan hidup, budaya kerja). Diyakini pula bahwa kedua aspek itu saling terkait dan memperkuat motivasi orang puas dalam bekerja, dan bertahan di satu posisi. (Litbang Kompas)