Pemerintah meminta dana dan investasi jaminan sosial ketenagakerjaan dikelola secara bertanggung jawab dan transparan. BPJS Ketenagakerjaan juga diingatkan untuk menjaga kepercayaan pekerja dan perusahaan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meminta dana dan investasi jaminan sosial ketenagakerjaan dikelola secara bertanggung jawab dan transparan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan juga diingatkan untuk menjaga kredibilitas agar dipercaya pekerja dan perusahaan.
”Pemerintah mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk pengembangan investasinya. BPJS Ketenagakerjaan harus hati-hati,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah saat sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019 di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Menurut Ida, saat ini BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana jaminan sosial lebih dari Rp 400 triliun. Dengan dana sebesar itu, kredibilitas menjadi faktor penting untuk menjaga kepercayaan, khususnya pekerja dan perusahaan peserta jaminan.
Tahun lalu BPJS Ketenagakerjaan dikabarkan mengusulkan beberapa penyesuaian regulasi terkait penyertaan dana jaminan sosial ke investasi langsung kepada pemerintah.
Sebagai contoh usulan, peningkatan total penyertaan investasi langsung dinaikkan dari maksimal 5 persen, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, menjadi maksimal 10 persen.
Direktur Pengembangan Investasi BPJS Ketenagakerjaan Amran Nasution menyatakan, penempatan aset dana jaminan sosial memang sudah diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2013 dan PP Nomor 55 Tahun 2015.
Selain itu, ada beberapa peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur batasan penempatan pada surat berharga negara, seperti Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2016, Peraturan OJK Nomor 36 Tahun 2016, dan Peraturan OJK Nomor 56 Tahun 2017.
Per September 2019, dana jaminan sosial dialokasikan ke surat utang sebanyak 62 persen, saham 19,5 persen, deposito 8,5 persen, reksadana 10 persen, dan investasi langsung 1 persen.
Soal penempatan dana jaminan sosial ke saham, kata Amran, BPJS Ketenagakerjaan selalu menempatkannya di saham perusahaan kelompok penghitungan LQ-45 di Bursa Efek Indonesia. Penempatan dana jaminan sosial ke reksadana pun dipastikan tidak ke 11 produk reksadana yang masuk daftar hitam OJK.
”Kami pastikan tidak ada dana jaminan sosial yang ditempatkan di ’saham gorengan’. Menyoal imbal hasil investasi, perkiraan kami berkisar 7,7 persen dan bisa berubah mengikuti pergerakan pasar. Kemungkinan persentase imbal hasil tidak berbeda jauh dibandingkan 2018,” katanya.
Mengutip laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan, baik dana maupun hasil investasi bruto BPJS Ketenagakerjaan selalu mengalami kenaikan setiap tahun. Sebagai gambaran, tahun 2016 dana investasi BPJS Ketenagakerjaan tercatat sekitar Rp 261,2 triliun dan hasil investasi bruto sekitar Rp 21,7 triliun.
Lalu, tahun berikutnya, dana investasi BPJS Ketenagakerjaan tercatat sekitar Rp 317,11 triliun dan hasil investasi bruto sekitar Rp 26,7 triliun. Adapun pada tahun 2018 dana investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 364,8 triliun dan hasil investasi bruto sekitar Rp 27,7 triliun.
Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar berpendapat, peluang terjadi kecurangan pelayanan terhadap peserta kecil. Hal ini berbanding terbalik dengan proses pengembangan beserta hasilnya dari dana kelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga perlu diawasi secara ketat.
”Dana jaminan sosial akan tetap aman sepanjang direksi tetap bisa menempatkannya pada portofolio investasi yang aman dan tidak berani bermain di perdagangan saham yang mengandung risiko tinggi,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, saat dihubungi secara terpisah, memandang pengawasan kelembagaan menjadi salah satu tantangan yang sekarang mewarnai perjalanan BPJS Ketenagakerjaan. Ketiadaan lembaga pengawas independen menyebabkan tidak adanya evaluasi dan memberikan masukan kepada negara.
Terkait kehadiran Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Tauhid memandang keberadaannya lebih tampak seperti komisioner. Dengan demikian, masukan yang mereka berikan lebih bersifat internal.
Menurut Tauhid, keberadaan lembaga pengawas independen dapat menjembatani kepentingan peserta. Perannya bisa mendorong BPJS Ketenagakerjaan secara kelembagaan lebih kredibel, seperti mengevaluasi target kepesertaan yang tampak tidak berjalan.
Masih berkaitan dengan tantangan kelembagaan, dia menyebut dana kelolaan yang besar memang berpotensi memunculkan isu baru dan bisa bersifat sensitif. Sebagai contoh, isu penyertaan langsung dari total dana investasi agar dapat mendorong partisipasi pada proyek infrastruktur strategis.
”Sejauh mana penyertaan langsung dari total dana investasi itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan bisa dipertahankan?” kata Tauhid.