Sebanyak 24,79 juta penduduk Indonesia miskin. Jumlah penduduk miskin itu sekitar 9,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Pemerintah disarankan tak hanya melihat kemiskinan dari sekadar angka.
Oleh
KRN/JUD/MED/LKT
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Realitas dan aspirasi masyarakat patut dipertimbangkan agar pemerintah tidak terjebak pada sebatas angka penurunan kemiskinan. Jangan sampai kemiskinan secara kuantitatif turun, namun masyarakat masih kesulitan, bahkan merasa kemiskinan semakin dalam.
Selain itu, angka kemiskinan mesti dianalisis dari berbagai aspek sosial dan ekonomi melalui perbaikan metodologi perhitungan.
Menurut Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani Yustika, pemerintah juga mesti mengevaluasi berbagai program pengurangan kemiskinan. “Evaluasi itu untuk mengetahui kontribusi program terhadap penurunan kemiskinan dan celah penyimpangannya. Dari evaluasi itu, bisa diketahui kemungkinan inovasi,” kata Erani di sela-sela diskusi panel Kompas "Menuju Indonesia 2045" di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Program itu di antaranya Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non Tunai.
Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu, merilis, ada 24,79 juta penduduk miskin di Indonesia per September 2019 atau 9,22 persen dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk miskin berkurang 888.700 orang dibandingkan dengan September 2018. Penduduk miskin di perdesaan 12,6 persen, sedangkan di perkotaan 6,56 persen.
Sementara, ketimpangan pengeluaran di Indonesia yang ditunjukkan dalam rasio gini per September 2019 sebesar 0,38. Ketimpangan berkurang 0,004 daripada September 2018.
Rasio gini berkisar 0-1. Semakin besar rasio gini, maka ketimpangan semakin dalam.
Data BPS menunjukkan, kondisi di perkotaan jauh lebih timpang daripada perdesaan. Di perkotaan, rasio gini 0,391. Adapun di perdesaan 0,315.
Kepala BPS Suhariyanto menekankan angka kemiskinan di perdesaan yang jauh lebih tinggi dari di perkotaan. ”Perlu upaya penurunan kemiskinan di desa yang mayoritas bekerja di sektor pertanian," katanya.
Koordinasi
Menurut dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih, pengentasan kemiskinan tak bisa ditekankan hanya pada satu kementerian. Setiap kementerian/lembaga pemerintah perlu berkoordinasi untuk melihat potensi sumber daya alam yang dapat dikelola masyarakat setempat sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan.
Di sisi lain, kenaikan upah buruh secara nominal tidak diikuti kondisi riil.
Data BPS menunjukkan, rata-rata upah buruh tani pada Desember 2019 sebesar Rp 54.723 per hari atau naik 0,13 persen secara bulanan. Namun, upah riilnya turun 0,14 persen.
Adapun upah nominal harian buruh bangunan Rp 89.179 atau naik 0,11 persen secara bulanan, namun upah riilnya turun 0,23 persen.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Margo Yuwono menyebutkan, hal ini menunjukkan kenaikan upah nominal tak bisa mengompensasi kenaikan harga barang.
Berdasarkan data BPS, inflasi pada Desember 2019 sebesar 0,34 persen. (KRN/JUD/MED/LKT)