Komisi IX Akan Bentuk Tim Dalami Isu Ketenagakerjaan
Komisi XI DPR RI berencana membentuk tim kecil untuk mendalami isu ketenagakerjaan terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Para buruh berharap hak-hak mereka tak tereduksi di regulasi baru.
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi XI DPR RI berencana membentuk tim kecil untuk mendalami isu ketenagakerjaan terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Mereka berharap peningkatan investasi dan daya saing industri tidak mereduksi hak-hak buruh.
Komisi XI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan; Gerakan Kesejahteraan Nasional; dan Gerakan Bersama Buruh/Pekerja Badan Usaha Milik Negara di Gedung DPR RI di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Edy Wuryanto mengatakan, rapat dengar pendapat terselenggara atas undangan Komisi IX DPR RI. Dalam kesempatan itu, Komisi IX mendengar kekhawatiran kelompok buruh terhadap substansi kluster ketenagakerjaan yang ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja.
Mengutip pantauan live twit JejakParlemen.id dengan akun resmi bernama @WikiDPR3, contoh keresahan yang disampaikan para buruh antara lain soal tidak dilibatkannya unsur buruh dalam perumusan RUU, pemberlakuan jam kerja dan upah minimum, serta pengurangan pesangon. Rapat dengar pendapat diakhiri dengan rencana membuat tim kecil untuk membahas isu-isu di RUU Cipta Lapangan Kerja.
Edy memastikan, sampai sekarang, diantara anggota Komisi IX juga masih "meraba-raba" seperti apa wujud RUU Cipta Lapangan Kerja. Hal ini dikarenakan DPR belum menerima Daftar Inventaris Masalah RUU Cipta Lapangan Kerja.
"Kami semua sepakat bahwa RUU Cipta Lapangan Kerja bisa mendorong peningkatan investasi hingga daya saing industri. Akan tetapi, bersamaan dengan peningkatan tersebut, kami ingin hak-hak buruh selalu terlindungi," ujar dia.
Edy menambahkan, hubungan industrial di negara maju, seperti Jepang, berjalan positif karena kepentingan tenaga kerja dan pengusaha terakomodasi secara seimbang. Harapannya, Indonesia bisa mencontoh hal itu.
Kelompok buruh terus menyerukan agar dilibatkan dalam perumusan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Ketiadaan dialog dikhawatirkan menimbulkan konflik baru di ranah hubungan industrial di kemudian hari.
Mirah Sumirah, aktivis Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, berpendapat, draf RUU Cipta Lapangan Kerja mengandung substansi yang mereduksi kesejahteraan buruh. Oleh karena itu, pihaknya menolak. Ada enam poin krusial yang dianggap bertentangan dengan perlindungan pekerja, antara lain, penghilangan upah minimum, pesangon, dan fleksibilitas pasar kerja.
Terkait upah minimum, muncul keinginan pemerintah menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, upahnya otomatis di bawah upah minimum. Hal ini tentu mengkhawatirkan.