Pusat perekonomian di daerah bisa dikembangkan untuk menekan kemiskinan dan ketimpangan. Infrastruktur bisa jadi cara menghubungkan pusat kegiatan ekonomi.
Oleh
KRN/CAS/LKT
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Kegiatan ekonomi yang lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat perekonomian memiliki andil dalam ketimpangan antara desa dan kota. Kendati ketimpangan terus berkurang, namun dinilai masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dikutip Kamis (16/1/2020), tingkat ketimpangan berdasarkan pengeluaran per September 2019 ditunjukkan melalui rasio gini 0,38.
Rasio gini berkisar 0-1. Rasio gini mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin dalam.
Ketimpangan di perkotaan -yang ditunjukkan melalui rasio gini 0,391- lebih dalam dibandingkan dengan ketimpangan di perdesaan yang rasio gininya 0,315.
Sementara, angka kemiskinan per September 2019 sebesar 9,22 persen. Di perdesaan, angka kemiskinan sebesar 12,6 persen atau nyaris dua kali lipat dari angka kemiskinan di perkotaan yang sebesar 6,56 persen.
Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro menyebutkan, infrastruktur sebagai penghubung dua pusat kegiatan harus mampu menumbuhkan perekonomian daerah yang dilintasi. Namun, persoalannya, pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di desa atau daerah perlintasan yang telah memiliki kegiatan ekonomi berupa produksi, perdagangan, dan manufaktur.
“Wilayah desa yang dekat dengan jalur lalu lintas penduduk harus menemukan potensinya (ekonomi). Jika tidak, maka yang menikmati adalah daerah yang merupakan pusat kegiatan ekonomi. Akibatnya, ketimpangan desa dan kota makin tinggi,” katanya di Jakarta.
Untuk menekan ketimpangan desa dan kota, diperlukan pengembangan kluster atau kawasan terpadu di desa-desa sebagai pusat kegiatan baru yang menopang produksi dan penyerapan tenaga kerja. Jalan tol bisa dimanfaatkan sebagai penghubung antar pusat kegiatan.
“Akses tol harus dilengkapi pintu ke pusat kegiatan ekonomi di sekitarnya, baik kuliner, wisata, maupun perdagangan, sehingga desa bisa menikmati dampak pembangunan,” tambahnya.
Peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia TM Zakir Machmud menuturkan, industri perlu didorong untuk menekan angka kemiskinan dan ketimpangan. Industri makanan-minuman dan industri tekstil, misalnya, bisa dikembangkan di daerah untuk memacu perekonomian kawasan di sekitarnya. Perekonomian bisa dipacu antara lain melalui serapan tenaga kerja.
Beberapa waktu lalu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan, serapan tenaga kerja terbanyak pada industri makanan-minuman, yakni 4,74 juta orang, diikuti industri pakaian jadi yang menyerap 2,65 juta orang.
Kualitas
Dalam kesempatan terpisah, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungky Sumadi kepada Kompas di Jakarta, Kamis, mengatakan, produktivitas tenaga kerja di perkotaan umumnya lebih tinggi. Kondisi ini terkait kualitas pendidikan di perkotaan yang umumnya lebih baik daripada di perdesaan. Penduduk miskin di perkotaan lebih melek huruf dan digital.
”Jika ada kesempatan ekonomi yang memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan, biasanya penduduk di kota punya kesempatan lebih besar daripada di desa,” katanya.
Pemerintah, tambah Pungky, secara bertahap mengatasi persoalan kemiskinan di perdesaan, antara lain melalui penyaluran dana desa. Upaya lain dengan meningkatkan bantuan pangan nontunai serta memperluas jaringan dan akses internet ke desa-desa.
”Jumlah penduduk miskin di desa lebih tinggi karena total jumlah penduduk desa memang lebih besar dari kota,” ujar Pungky.
Dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan juga diperingatkan Bank Dunia. Wakil Presiden Bank Dunia Bidang Pemerataan Pertumbuhan, Keuangan, dan Institusi Ceyla Pazarbasioglu menyampaikan, pengambil kebijakan di negara-negara berkembang mesti melakukan reformasi struktural untuk mengurangi kemiskinan di tengah risiko perlambatan ekonomi global.
”Langkah yang harus diambil adalah memperbaiki iklim bisnis, aturan hukum, tata kelola utang, dan produktivitas yang bisa mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” ujarnya. (LKT/CAS/KRN)