Pemerintah Diminta Perbaiki Perekrutan untuk Penempatan Sektor Maritim
Penempatan pekerja migran dinilai memerlukan nota kesepahaman perlindungan antarpemerintah. Namun, selain mengupayakan kesepahaman, pemerintah dinilai perlu untuk memperbaiki perekrutan di dalam negeri terlebih dulu.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penempatan pekerja migran dinilai memerlukan nota kesepahaman perlindungan antarpemerintah. Lewat nota kesepahaman, kedua negara terikat untuk menyiapkan regulasi perlindungan yang setara, termasuk bagi Indonesia yang tengah membuat kesepahaman dengan Korea Selatan untuk pekerja sektor perikanan dan kelautan.
Akan tetapi, pemerintah dinilai perlu membenahi mekanisme prapenempatan pekerja terlebih dulu. Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Boby Anwar Ma\'arif, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (17/1/2020) berpendapat, sampai saat ini masih ada ego sektoral antarkementerian dan lembaga soal pekerja sektor perikanan dan kelautan. Ego itu berdampak belum adanya peraturan terintegerasi.
Boby mencontohkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan Anak Buah Kapal dan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan. PP Perlindungan Anak Buah Kapal adalah salah satu amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. PP ini belum kunjung ditetapkan. Sementara terkait Konvensi ILO 188 Tahun 2007, pemerintah Indonesia belum satu suara untuk segera meratifikasi.
Padahal, dalam konteks sektor industri perikanan dan kelautan bidang profesi anak buah kapal dan nelayan berada di strata terendah. Oleh karena itu, pekerja migran Indonesia yang bekerja di bidang tersebut rentan terhadap pengabaian hak-hak kerja layak.
Pada tahun 2013, BNP2TKI mengeluarkan Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing. Boby menilai ada substansi negatif dari peraturan ini, seperti persyaratan pendirian perusahaan pelaksana penempatan pelaut yang dianggap tidak mewajibkan minimal modal dan perjanjian kerja.
Dia memperkirakan, sekitar 70 persen pekerja migran Indonesia sektor industri perikanan dan kelautan bekerja sebagai anak buah kapal dan nelayan. Setiap tahun, SBMI menerima pengaduan kasus pengabaian hak dan masing-masing kasus bisa melibatkan sekitar sepuluh orang pekerja. Sepanjang tahun 2019, misalnya, SBMI menampung pengaduan 204 kasus gaji tidak dibayar.
Berdasarkan data BNP2TKI, per Desember 2017, jumlah pekerja migran Indonesia bidang nelayan mencapai 167 orang. Setahun kemudian, jumlahnya turun menjadi 150 orang. Adapun per Desember 2019, jumlahnya naik menjadi 229 orang. Boby berpendapat, jumlah pekerja dipastikan lebih dari angka itu karena satu perusahaan pelaksana penempatan pelaut biasa merekrut sampai 2.000 orang.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mempunyai pandangan senada. Permasalahan ego sektoral telah lama terjadi. Koordinasi antarkementerian dan lembaga yang memiliki kewenangan serupa seringkali terhambat oleh struktur kerja birokrasi.
Prioritas kerja yang dipatok diantara mereka belum sama. Kementerian Kelautan dan Perikanan, misalnya, telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan. Namun, di Kementerian Ketenagakerjaan belum melakukan harmonisasi aturan.
Negara seperti Korea Selatan memberikan sejumlah peluang kerja kepada pekerja Indonesia untuk bekerja di sektor perikanan dan kelautan. Pada 2019, peluang kerja yang tersedia di Korea Selatan di sektor itu mencapai sekitar 3.900.
Dengan kondisi di dalam negeri seperti itu, maka tantangan yang dihadapi pekerja Indonesia kompleks. Mereka dituntut paham isi perjanjian kerja, jaminan keselamatan, dan gaji layak.
Komitmen lindungi
Pemerintah menyatakan komitmennya untuk meningkatkan perlindungan hak-hak pekerja migran saat ditempatkan di sektor perikanan dan kelautan. Selain mengutamakan pengiriman pekerja terampil, komitmen itu ditempuh dengan menghasilkan nota kesepahaman perlindungan dengan negara tujuan.
Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan, Anggoro Putri, mencontohkan substansi perlindungan penempatan pekerja migran Indonesia sektor perikanan dan kelautan tujuan Korea Selatan dipisahkan dari draf finalisasi pembaruan nota kesepahaman penempatan skema employment permit system (pemerintah ke pemerintah/G2G). Harapannya, perlindungan hak-hak pekerja migran Indonesia lebih ketat.
Proses perundingan nota kesepahaman penempatan pekerja migran sektor maritim akan Kemnaker lakukan dengan Kementerian Perikanan Korea Selatan. Kemnaker berkomitmen terus berjuang agar proses perundingan membuahkan hasil positif.
Pada Kamis (16/1/2020), Anggoro mendampingi Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah bertemu dengan Wakil Menteri Tenaga Kerja Republik Korea Selatan Im Seo-Jeong. Pertemuan itu menyepakati percepatan finalisasi substansi nota kesepahaman penempatan melalui skema employment permit system.
Pemerintah Indonesia telah menyerahkan draf tandingan nota kesepahaman pada September 2019. Percepatan dikarenakan Indonesia-Korea Selatan telah mulai melakukan perundingan pembaruan sejak 2015, tetapi banyak revisi usulan.
"Pembaruan nota kesepahaman penempatan melalui skema employment permit system hanya mencakup pekerjaan di sektor manufaktur dan jasa. Pada Februari 2020, kami menggelar diskusi group untuk finalisasi dengan pihak Kementerian Ketenagakerjaan Korea Selatan.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Tatang Budie Utama Razak, dalam siaran pers mengatakan, sebanyak 128 orang pekerja migran Indonesia diberangkatkan ke Korea Selatan melalui skema pemerintah ke pemerintah pada awal pekan pertama Januari 2020. Mereka akan bekerja sebagai tenaga terampil di industri sektor perikanan dan manufaktur.
Tatang mengklaim, setiap tahunnya terdapat ribuan pekerja migran Indonesia ditempatkan bekerja ke Korea Selatan melalui skema penempatan pemerintah ke pemerintah. Pada tahun 2019, misalnya, total pekerja yang diberangkatkan tercatat sebanyak 6.426 orang.
Selama bekerja, para pekerja itu menerima gaji bersih sekitar Rp 21 juta per bulan. Dia menekankan, penempatan pekerja terampil bukan hanya menyasar ke Korea Selatan, tetapi juga ke berbagai negara.