Pemerintah belum mengkaji jenis alat tangkap yang paling tepat untuk wilayah Laut Natuna Utara. Keputusan memindahkan kapal cantrang bisa memicu masalah baru.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk memindahkan ratusan kapal nelayan cantrang berukuran besar dari pantai utara Jawa ke Laut Natuna Utara berpotensi memicu persoalan baru. Salah satu penyebabnya, pemerintah belum bersikap tegas mengenai status regulasi larangan cantrang.
Sikap pemerintah terkait penggunaan cantrang menjadi tak konsisten. Di satu sisi, nelayan dilarang menggunakan cantrang. Namun, di sisi lain, pemerintah justru akan memindahkan kapal cantrang ke perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Natuna Utara.
”Selain itu, apakah karakteristik cantrang cocok dengan perairan di Natuna, perlu jadi pertimbangan. Perlu segera dibuat tim uji petik cantrang sebelum mengambil keputusan (izin cantrang) agar tidak menuai masalah baru,” kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, di Jakarta, Minggu (19/1/2020).
Larangan mengenai pemakaian cantrang diatur pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Alat tangkap yang tergolong pukat tarik itu dinilai merusak lingkungan.
Di sisi lain, pemerintah tidak melakukan kajian terbuka terkait kriteria jenis alat tangkap yang tepat digunakan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 Laut Natuna Utara.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada 816 kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT) di WPP 711 Laut Natuna Utara. Potensi ikan lestari di Natuna 767.000 ton, dengan kategori tingkat pemanfaatan tinggi. Beberapa jenis ikan, antara lain ikan pelagis—ikan yang hidup di permukaan laut—kecil, udang, dan kepiting sudah masuk dalam kategori penangkapan berlebih.
Menyerupai ”trawl”
Pelaksana Tugas Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kementerian dan Investasi Safri Burhanuddin menyebutkan, saat ini ada 500 kapal nelayan berukuran di atas 100 GT dari pantai utara Jawa siap merapat ke Natuna.
Akan tetapi, pemerintah memastikan proses pemindahan nelayan dari pantai utara Jawa tersebut akan berlangsung secara bertahap. Safri mengakui, umumnya kapal-kapal besar dari pantai utara Jawa menggunakan alat tangkap cantrang. Alat tangkap cantrang itu menyerupai pukat harimau.
Namun, Safri berpendapat, penggunaan cantrang dimungkinkan pada zona perairan di atas 12 mil (22 kilometer) yang merupakan laut dalam. Alasannya, alat tangkap ini cocok untuk menangkap jenis ikan demersal atau ikan di dasar laut. Adapun stok ikan pelagis di Laut Natuna Utara sudah merosot akibat penangkapan berlebih.
”Kapal asing yang masuk ke Indonesia rata-rata juga memakai trawl yang menyerupai cantrang. Ini hanya masalah nama. Kami sedang mempelajari apakah diperlukan modifikasi alat cantrang agar namanya bukan lagi cantrang, tetapi filosofi cara kerjanya, ya, (tetap) cantrang atau trawl,” katanya, akhir pekan lalu.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Zulficar Mochtar mengemukakan, masih terbuka kemungkinan mengenai tambahan alokasi 300-500 kapal dengan ukuran di atas 30 GT di Laut Natuna Utara. Penambahan jumlah kapal ukuran besar itu dilakukan bertahap.
Zulficar sedang menyiapkan berbagai hal terkait teknis, operasional, dan pasca-penangkapan ikan terkait relokasi kapal ke Natuna. ”Melihat potensi sumber daya ikan, masih bisa diberi alokasi tambahan 300-500 kapal, efektifnya 305 kapal,” katanya. (LKT)