Kendati mulai pulih, kondisi perekonomian global masih diwarnai sejumlah risiko. Daya tahan diperlukan, di samping tetap berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Oleh
DEWI INDRIASTUTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stabilitas politik, kepastian hukum, serta iklim ekonomi dan investasi yang kondusif merupakan syarat implementasi kebijakan moneter dan fiskal dengan efektif dan optimal. Tanpa syarat itu, maka sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal yang pro-pertumbuhan menjadi sia-sia.
Kebijakan moneter dan fiskal ini diperlukan untuk menghadapi kondisi perekonomian global yang belum kunjung pulih.
”Indonesia tidak terlalu terlibat aktif dalam rantai pasok global sehingga relatif minimal terpapar dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Keberuntungan Indonesia adalah memiliki modal besar berupa pasar domestik yang terjaga kuat dengan kontribusi konsumsi rumah tangga berkisar 56-57 persen terhadap total produk domestik bruto,” kata Kepala Ekonom Bank BNI Kiryanto kepada Kompas, Selasa (21/1/2020), di Jakarta.
Pendapat Kiryanto itu terkait paparan proyeksi ekonomi dunia oleh Dana Moneter Internasional (IMF) di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swis, Senin (20/1/2020) waktu setempat.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebutkan, pertumbuhan ekonomi global masih melambat. ”Belum terlihat titik baliknya,” katanya.
Georgieva menambahkan, IMF malahan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,3 persen pada 2020. Proyeksi IMF yang dirilis pada Oktober 2019 menyebutkan, perekonomian global tumbuh 3,4 persen pada 2020.
”Kami melihat masih ada tekanan dari risiko geopolitik, terutama di kawasan Timur Tengah,” ujar Georgieva.
Sementara itu, Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath menyebutkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 memang direvisi. Namun, kondisi perekonomian global tengah menjalani proses pemulihan. Hal ini terlihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi yang membaik dari 2,9 persen pada 2019 menjadi 3,3 persen pada 2020.
Secara umum, negara maju diproyeksikan tumbuh 1,6 persen pada tahun ini. Proyeksi ini lebih rendah daripada rilis Oktober 2019 yang sebesar 1,7 persen. Sementara negara-negara berkembang diproyeksikan tumbuh 4,4 persen atau lebih rendah 0,2 persen daripada proyeksi yang dirilis Oktober 2019.
Ekspor penting
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menekankan, secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi dunia pada periode 2020-2024 diproyeksikan 3,5 persen. Angka ini lebih rendah 0,1 persen dibandingkan dengan rata-rata pada periode 2015-2019.
”Tren ini menunjukkan ruang untuk meningkatkan ekspor memang masih terbatas. Namun, tetap harus diupayakan karena ekspor penting bagi Indonesia,” kata Andry.
Andry menambahkan, kondisi perekonomian global akan berdampak pada Indonesia. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 akan menyentuh 5,06 persen. Meski demikian, risiko masih akan dihadapi, antara lain terkait ketidakpastian yang meningkat dari sisi faktor eksternal.
Dalam APBN 2020, asumsi dasar yang digunakan berupa pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen. Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Januari-September 2019 sebesar 5,04 persen.
Sementara ekspor Indonesia pada 2019 senilai 167,525 miliar dollar AS. Nilai ekspor lebih rendah daripada impor yang senilai 170,721 miliar dollar AS. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia defisit 3,196 miliar dollar AS pada 2019.
Defisit neraca perdagangan ini lebih rendah dibandingkan dengan 2018 yang sebesar 8,698 miliar dollar AS. Pada 2018, ekspor RI senilai 180,012 miliar dollar AS, lebih rendah daripada impor yang senilai 188,711 miliar dollar AS.