Pengalaman berbelanja yang menyenangkan menjadi salah satu cara untuk menarik konsumen di tengah persaingan pusat perbelanjaan dan belanja dalam jaringan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Ketika tantangan mal belum mereda, pusat belanja atau mal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi terus dibangun. Sampai dengan tahun 2023, sebanyak 23 pusat belanja baru siap dioperasikan.
Konsultan properti Colliers International Indonesia mencatat, mobilitas yang sudah semakin baik mendorong pusat belanja kembali tumbuh di Jakarta dan sekitarnya.
Tahun ini 10 pusat perbelanjaan bakal beroperasi dengan total ruang ritel 330.000 meter persegi (m²). Dari jumlah itu, empat pusat belanja di antaranya berlokasi di Jakarta dengan luas 110.000 m².
Pada 2021, sebanyak empat pusat perbelanjaan siap masuk Jabodetabek. Pada tahun berikutnya, 2022, sebanyak enam mal. Pada 2023, tercatat tiga mal. Pembangunannya dilakukan pengembang dalam negeri dan luar negeri, menyatu dengan proyek superblok.
Pakuwon Mall Bekasi di Bekasi, Jawa Barat, yang dibangun Grup Pakuwon, misalnya, bersanding dengan proyek hotel dan apartemen. Sementara proyek mal di Daan Mogot City (Jakarta Barat), garapan grup pengembang asal China, China Communications Construction Group, dibangun terpadu dalam kawasan terpadu hunian.
Lokasi hunian yang strategis dan kelengkapan fasilitas semakin dipilih konsumen. Langkah pengembang membangun pusat perbelanjaan sebagai bagian konsep superblok menjadi strategi menjaga keseimbangan pasar.
Pembangunan mal diharapkan menjadi pemantik pasar apartemen karena memudahkan penghuninya berbelanja. Sebaliknya, apartemen yang terhubung dengan mal memberi kepastian pasar. Bagi pengembang, keberadaan mal juga mampu menghasilkan pendapatan berulang. Dengan catatan, mal tersebut dapat memikat pengunjung untuk berbelanja.
Namun, bukan berarti hal itu tanpa tantangan. Faktanya, tingkat okupansi atau keterisian mal dalam beberapa tahun terakhir terus menurun. Pada 2019, untuk pertama kalinya, rata-rata tingkat hunian mal di Jakarta di bawah 80 persen, atau turun 4 persen dibandingkan dengan 2018. Meski demikian, ada catatan, tingkat hunian mal-mal kelas atas cenderung stabil.
Di tengah tantangan disrupsi digital dan tren belanja dalam jaringan, pengelola pusat belanja dituntut terus berinovasi agar tak kehabisan pengunjung. Tambahan pasokan berupa mal baru bukan tak mungkin membuat tingkat okupansi ruang ritel kian turun.
Sejumlah mal kini telah menggeser konsep menjadi multifungsi, yakni tempat belanja, rekreasi, hiburan, dan olahraga. Ruang ritel di pusat perbelanjaan juga kian didominasi gerai makanan dan minuman untuk menarik pengunjung.
Namun, langkah inovasi itu dinilai belum cukup untuk mengikuti dinamika masyarakat, khususnya gaya hidup generasi milenial, yang ”dekat” dengan digital.
Kolaborasi pengelola mal dan peritel untuk menghadirkan konsep yang lebih variatif akan membidik pasar lebih luas.
Salah satunya, gerai ritel sebagai ruang pajang produk menerima layanan pesanan dalam jaringan. Alih-alih bebas ongkos kirim, pembeli daring diberi opsi untuk mengambil barang di mal.
Kolaborasi pengelola mal dan peritel untuk menghadirkan konsep yang lebih variatif akan membidik pasar lebih luas.
Nilai tambah mal mesti terus ditingkatkan agar orang datang ke mal untuk mencari produk dan pengalaman belanja yang tidak tersedia di lapak belanja daring. Sebab, dengan tingkat konsumsi rumah tangga yang masih jadi penghela pertumbuhan ekonomi, pengelola mal mesti memanfaatkan momentum dengan sigap dan tanggap untuk membidik pasar.