Jumlah barang kiriman impor yang diperjualbelikan melalui platform perdagangan secara elektronik terus meningkat. Pelaku usaha khawatir kondisi ini dapat memengaruhi kinerja industri, khususnya kecil-menengah.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pelaku usaha mengkhawatirkan peningkatan impor barang kiriman melalui platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang dapat mengganggu industri nasional. Gangguan ini terutama dapat dialami pelaku industri kecil-menengah.
Keberadaan tingkat kompetisi yang adil selama ini menjadi permintaan pelaku usaha kepada pemerintah.
Hal itu mengemuka dalam konferensi pers ”Menyikapi Peluang E-Commerce di Tengah Membanjirnya Barang Impor”. Acara digelar di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Kamis (23/1/2020).
”Penyesuaian nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari 75 dollar AS menjadi 3 dollar AS itu memang permintaan dari pelaku usaha di dalam negeri, khususnya di sini yang terkait dengan produsen dan perajin,” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani.
Hariyadi mengatakan, produsen dan perajin merasakan pengaruh besar e-dagang, khususnya terkait kiriman barang impor. Ia menggambarkan, pada 2017, barang kiriman tercatat 6,1 juta paket. Namun, pada 2018 meningkat menjadi 19,5 juta paket.
”Dan, pada 2019 menjadi 57,9 juta paket. Hal ini yang kami khawatirkan mulai mengganggu industri kecil dan menengah kita, termasuk juga perajin,” ujar Hariyadi.
Produsen dan perajin merasakan pengaruh besar e-dagang.
Terkait hal tersebut, menurut Hariyadi, pihaknya meminta kepada pemerintah untuk membuat level of playing field atau tingkat kompetisi yang adil atau sama, terutama di sisi tarif. Kemudian, bea masuk atau barang kiriman diturunkan.
”(Hal) yang menarik adalah dari 57,9 juta kiriman, 45 juta di antaranya melalui Batam (Kepulauan Riau). Dan, dari 45 juta yang melalui Batam itu, 96,56 persen di antaranya untuk tujuan e-commerce,” ujar Hariyadi.
Hariyadi menambahkan, pihaknya mendukung penuh penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199 Tahun 2019. Dalam aturan yang akan berlaku 30 Januari 2020 tersebut, Bea Cukai menyesuaikan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman, dari 75 dollar AS menjadi 3 dollar AS per kiriman.
Menurut dia, pengenaan itu juga diimbangi penyesuaian tarif impor. Tarif impor yang sebelumnya rata-rata 27,5-37,5 persen (terdiri dari bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 10 persen dengan NPWP, dan PPh 20 persen tanpa NPWP), menjadi 17,5 persen (yang terdiri dari bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, dan PPh 0 persen).
”Terkecuali barang-barang tertentu, yaitu tas, sepatu, dan produk tekstil. Barang-barang tersebut ini memang secara keseluruhan mencakup 63 persen dari barang impor terkait barang kiriman tadi,” kata Hariyadi.
Bea masuk untuk tas, sepatu, dan produk tekstil mengikuti tarif normal, yakni 15-20 persen untuk tas, 25-30 persen untuk sepatu, dan 15-25 persen untuk produk tekstil. Adapun PPN sebesar 10 persen dan PPh 7,5-10 persen.
”Dan, untuk produk buku pengetahuan maka itu nol semuanya; bea masuk nol, PPN nol, karena memang pemerintah mendorong peningkatan literasi masyarakat supaya minat baca meningkat,” ujar Hariyadi.
Sulit bersaing
Chairman Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyebutkan, pelaku usaha luar jaringan ataupun dalam jaringan sulit bersaing ketika tidak ada tingkat kompetisi yang setara.
”Dengan adanya PMK ini, timbul kesetaraan sehingga penjualan, baik di luring maupun daring, produk-produk yang dijual merek-merek kami, baik impor maupun lokal, ada kenaikan,” kata Budihardjo.
Hippindo berpandangan, dengan peraturan dari pemerintah tersebut, produsen ataupun pedagang UKM yang benar akan meraih peningkatan penjualan. ”Diharapkan akan merangsang produksi dalam negeri ataupun impor secara benar,” kata Budihardjo.
Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia Tutum Rahanta mengatakan, tanpa pemenuhan rasa keadilan, keinginan mendorong pelaku usaha berlaku baik akan menjadi sia-sia.
”Pelaku yang selama ini sudah mematuhi segala tata cara dan aturan perpajakan harus dilindungi. Kalau tidak dilindungi, orang yang patuh itu bisa menjadi tidak patuh,” kata Tutum.
Tanpa pemenuhan rasa keadilan, keinginan mendorong pelaku usaha berlaku baik akan menjadi sia-sia.
Tutum menuturkan, barang yang akan diperdagangkan, baik secara luring maupun daring, harus melalui tata cara dan aturan yang benar.