Sebagaimana awal tahun lalu, nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar AS. Sebagian orang menilai, pasar keuangan Indonesia menarik karena tingkat suku bunga lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS diperkirakan berlangsung sementara. Hal itu karena potensi arus modal keluar cukup besar akibat risiko fiskal dalam negeri yang kian meningkat.
Nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (24/1/2020), sebesar Rp 13.623 per dollar AS. Kurs rupiah menguat secara berkala sejak awal tahun 2019 dari kisaran Rp 14.000 per dollar AS.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, memandang penguatan nilai tukar rupiah dipengaruhi besarnya arus modal asing masuk ke Indonesia, terutama ketika pemerintah menerbitkan surat utang dengan imbal hasil di atas 8 persen.
Penguatan rupiah pada awal tahun ini lazim terjadi karena likuiditas global mencukupi. Di sisi lain, pasar keuangan Indonesia dinilai menarik karena tingkat suku bunga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Tren penguatan rupiah juga terjadi pada awal tahun 2019.
”Namun, kondisi ini (penguatan kurs rupiah) justru berbahaya karena indikator-indikator ekonomi eksternal Indonesia tidak dalam kondisi baik, ditambah adanya risiko fiskal,” ujar Enny dalam diskusi Kompas Institute bertajuk ”Proyeksi Ekonomi dan Bisnis 2020” di Jakarta, Jumat.
Indikator ekonomi eksternal yang dimaksud antara lain defisit neraca perdagangan, defisit neraca pembayaran, dan besarnya jatuh tempo utang luar negeri. Ketiga indikator ekonomi eksternal itu menjadi pertimbangan pelaku pasar untuk menempatkan dan menarik kembali modalnya dari Indonesia.
Enny mengatakan, pemerintah memang tengah memperbaiki defisit di sejumlah indikator ekonomi eksternal. Namun, risiko arus modal keluar kini juga bersumber dari kondisi fiskal. Pembayaran utang jatuh tempo pemerintah tahun 2019 dan 2020 cukup besar. Di sisi lain, realisasi penerimaan pajak justru melambat.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo pemerintah tahun 2019 dan 2020 masing-masing sebesar Rp 497,61 triliun dan Rp 389,98 triliun.
Adapun realisasi penerimaan perpajakan tahun 2019 sebesar Rp 1.545,3 triliun atau 86,5 persen dari target APBN. Padahal, realisasi penerimaan per November 2018 masih sekitar 62 persen. ”Pemerintah melakukan ijon (penarikan pajak lebih awal) dalam jumlah besar pada Desember 2019 sehingga realisasinya bisa 86,5 persen. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran untuk tahun 2020,” ujar Enny.
Pada 2020, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.865,7 triliun. Melihat kondisi itu, Enny berpendapat, tren penguatan kurs rupiah diperkirakan berlangsung sementara. Peningkatan risiko fiskal belum diimbangi dengan perbaikan indikator ekonomi eksternal yang signifikan. Berbagai risiko itu berpotensi menyebabkan arus modal asing keluar kapan pun. Porsi modal asing di pasar keuangan Indonesia mencapai 40 persen.
Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, derasnya arus modal masuk mendorong rupiah ke titik terkuatnya dalam 21 bulan terakhir. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih mungkin terjadi kendati bersifat sementara.
”Sejauh ini, apresiasi rupiah menjadi salah satu mata uang dengan performa terbaik dibandingkan negara berkembang lainnya,” kata Febrio.
Arus modal masuk ke pasar keuangan Indonesia per 16 Januari 2020 mencapai lebih dari 2 miliar dollar AS. Berdasarkan data terakhir, imbal hasil dari obligasi pemerintah tenor 10 tahun telah mencapai level 6,8 persen.
Secara terpisah, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penguatan kurs rupiah masih sejalan dengan fundamentalnya. Aliran modal asing terus masuk ke Indonesia sehingga penguatan kurs rupiah juga bergerak sesuai dengan mekanisme pasar. Penguatan nilai tukar ini dapat mendorong investasi dalam negeri karena banyak industri yang impornya tinggi.
Perry menambahkan, kebijakan moneter masih diarahkan untuk menjaga dan memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi. Tingkat suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate) dipertahankan pada level 5 persen setelah diturunkan sebanyak empat kali sebesar 100 basis poin sejak Juli 2019.