Penyakit Demam Babi Afrika Belum Diatasi secara Tuntas
Persoalan penyakit demam babi afrika atau ASF belum bisa benar-benar dituntaskan. Pemerintah sedang mengembangkan vaksin ASF agar penyakit demam babi afrika bisa dimusnahkan secara menyeluruh.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan penyakit demam babi afrika atau ASF belum bisa benar-benar dituntaskan. Pemerintah sedang mengembangkan vaksin ASF agar penyakit demam babi afrika bisa dimusnahkan secara menyeluruh.
Hingga saat ini pemerintah, baik pusat maupun daerah, belum mengadakan pemusnahan massal terhadap babi-babi ternak yang terjangkit. ”Kalau mau (mengatasi ASF secara) tuntas, pemerintah mesti melakukan pemusnahan dan menyiapkan kompensasi bagi peternak yang terdampak,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Muhammad Munawaroh, saat dihubungi, Jumat (24/1/2020).
Munawaroh menduga, ASF kini telah menjangkiti babi-babi ternak di Bali karena ada 173 babi yang mati mendadak. Meskipun demikian, perlu ada penelitian dan verifikasi sebelum Indonesia mendeklarasikan Bali sebagai wilayah yang terjangkit ASF.
Menurut Munawaroh, Bali rentan terjangkit ASF lantaran pakan babi di sana mengandalkan sisa-sisa katering dari penerbangan, termasuk penerbangan yang berasal dari China. Apabila terdampak ASF, perekonomian Bali akan terganggu karena babi berkaitan dengan gaya hidup, budaya, dan sosial setempat.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian mengadakan pelatihan bagi petugas kesehatan hewan di 17 provinsi untuk mengantisipasi potensi penyebaran penyakit ASF. Ketujuh belas provinsi ini dinilai berisiko terhadap penyebaran penyakit.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita, melalui siaran pers, menyatakan, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) setelah kasus ASF merebak di Sumatera Utara. Harapannya, SDM tersebut dapat mencegah masuknya penyakit, deteksi penyakit, pelaporan penyakit, dan respons cepat terhadap penyakit yang masuk ke provinsi tersebut.
Adapun 17 provinsi itu terdiri dari Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat. Materi yang diberikan dalam pelatihan tersebut meliputi tugas dan fungsi petugas kesehatan hewan dalam pencegahan dan pengendalian ASF, pengetahuan dasar tentang ASF, manajemen penanganan kasus, pengambilan sampel, penanganan dengan restrain babi, biosekuritas dan biosafety, disposal, serta pelaporan dan kesadaran publik.
Pengembangan vaksin
Kementerian Pertanian mengembangkan vaksin ASF secara jangka panjang. Ketut berpendapat, strategi pengendalian dengan pengawasan lalu lintas babi, desinfeksi, disposal, dan biosekuritas belum cukup membendung penyebaran ASF.
Pengembangan vaksin ASF ini melibatkan 12 pakar kesehatan hewan Indonesia dari Universitas Udayana, Universitas Airlangga, Institut Pertanian Bogor, Universitas Brawijaya, dan Universitas Gadjah Mada. Ketut berharap pengembangan vaksin ASF dapat menjadi solusi untuk pencegahan penyakit.
Munawaroh mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengembangkan vaksin ASF. ”Secara umum, waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan vaksin hingga dapat diproduksi (massal) dengan hasil optimal paling cepat kira-kira tiga tahun lagi. Masih ada tahap mendapatkan virus, isolasi virus, tes lapangan, hingga uji proteksi dalam pengembangan vaksin,” tuturnya.