Kepastian Regulasi dan Transparansi Perpajakan Jadi Sorotan
Perkumpulan perusahaan Jepang menilai arah "omnibus law" sudah tepat. Namun, mereka memberi sorotan, yakni soal kepastian regulasi dan transparansi perpajakan. Mereka memberikan sejumlah catatan untuk pemerintah.
Oleh
ARIS PRASETYO / KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkumpulan perusahaan Jepang yang tergabung dalam The Jakarta Japan Club menilai arah undang-undang sapu jagat atau omnibus law yang disiapkan Pemerintah Indonesia sudah tepat. Namun, mereka memberikan catatan perbaikan bidang ekonomi pada periode kedua Presiden Joko Widodo, yakni soal kepastian regulasi dan transparansi perpajakan.
Presiden The Jakarta Japan Club (JJC), Kanji Tojo di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan, pihaknya belum bisa mengomentari lebih jauh lantaran draf omnibus law belum resmi menjadi undang-undang. Namun, ia menilai bahwa arah hukum saput jagat secara umum sudah tepat.
JJC juga memberikan sejumlah rekomendasi di bidang perekonomian kepada pemerintah. ”Kami baru saja menerima draf omnibus law. Jadi, belum bisa berkomentar lebih jauh. Hanya, setelah mendengar masukan dari sejumlah sumber di pemerintahan, kami memandang arah omnibus law sudah tepat,” kata Tojo.
Hal yang jadi sorotan JJC, salah satunya, adalah upah minimum buruh. Menurut Ketua Komite Rekomendasi Kebijakan JJC Keishi Suzuki, kategori upah buruh di Indonesia disamaratakan dalam satu wilayah, bukan per sektor jenis industri.
Tuntutan kenaikan upah dinilai cukup sering. ”Kami mengusulkan kategori upah minimum sebaiknya disesuaikan dengan produktivitas kerja,” kata Suzuki.
Terkait perpajakan, JJC mengusulkan perlunya perbaikan sistem yang lebih transparan dan adil di Indonesia. Perpajakan sebaiknya berdasarkan aturan yang jelas dan tidak berubah-ubah sehingga masa depan usaha bisa diprediksi. Perbaikan itu dipercaya dapat memberikan kelancaran berusaha di Indonesia.
”Pada tahun fiskal 2016, ada 12.852 kasus pajak di pengadilan Indonesia. Di tahun yang sama, di Jepang hanya ada 245 kasus pajak di pengadilan,” kata Suzuki.
Rekomendasi lain terkait perluasan pasar ekspor, pengembangan infrastruktur, dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM). JJC menyarankan perlunya perbaikan komunikasi dan koordinasi antarkementerian dan lembaga, termasuk instansi di pusat dan daerah. Terkait pengembangan SDM, perusahaan Jepang di Indonesia berkomitmen untuk terus menerapkan alih teknologi.
Menurut Asisten Presiden Direktur Toyota Indonesia Masamichi Tanaka, pihaknya menyelenggarakan pelatihan bagi karyawan Toyota Indonesia dalam kurun 3-6 bulan. Toyota membentuk tim khusus yang memantau perkembangan pelatihan tersebut ke daerah-daerah di mana bisnis mereka dijalankan di Indonesia.
JJC beranggotakan 715 perusahaan dan lebih dari 2.500 orang Jepang di Indonesia. Catatan JJC, total investasi Jepang di Indonesia 10 tahun terakhir mencapai 31 miliar dollar AS. Hingga Agustus 2018, perusahaan Jepang di Indonesia telah mempekerjakan 7,2 juta karyawan.
Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank DBS Indonesia Masyita Crystallin mengatakan, sentimen positif hukum sapu jagat terlihat dari menguatnya rupiah terhadap dollar AS. Sentimen lain adalah meningkat arus modal yang ke pasar Indonesia. Namun, dampak bagi sektor riil masih perlu waktu.
”Omnibus law bisa memberikan dampak sentimen positif bagi Indonesia. Kami perkirakan ada pengaruhnya terhadap nilai investasi yang akan meningkat. Hanya, pasar juga masih menunggu seperti apa implementasinya nanti,” kata Masyita.
Belum resmi
Terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja, pemerintah mengklarifikasi beredarnya draf RUU itu di publik. Draf yang kini beredar dinilai salah karena bukan hasil revisi terbaru.
”Begitu sudah diparaf dan dikirim ke DPR, RUU akan dibahas dalam sidang paripurna, dan dibuka kepada publik. Jadi, draf yang beredar (sekarang) dijamin tidak benar karena masih ada di kami,” kata Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, Sabtu (25/1/2020).
Menurut dia, RUU Cipta Lapangan Kerja masih dalam proses finalisasi oleh pemerintah. Dengan demikian, draf RUU yang beredar dipastikan bukan hasil revisi terbaru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pemerintah juga secara resmi tidak pernah memublikasi draf itu.