Remitansi Terus Meningkat, tetapi Pengabaian Hak Masih Terjadi
Angka pengiriman uang oleh pekerja migran terus meningkat beberapa tahun terakhir dan diperkirakan mencapai 11.095 juta dollar AS tahun ini. Namun, kasus kekerasan dan pengabaian terhadap buruh migran masih terjadi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perolehan remitansi pekerja migran secara konsisten terus meningkat sejak 2016. Akan tetapi, pada saat bersamaan, beban biaya jasa pengiriman uang dari luar ke dalam negeri masih besar, yaitu sekitar 15 persen. Pungutan biaya ini menyebabkan remitansi tidak bisa dinikmati seutuhnya pekerja dan keluarganya.
Sesuai data Bank Indonesia dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang diolah oleh Migrant Care, remitansi atau pengiriman uang tahun 2016 mencapai sekitar 8.687 juta dollar AS, lalu naik menjadi 8.761 juta dollar AS pada tahun 2017, dan kembali naik menjadi 10.974 juta dollar AS pada 2018.
Apabila memproyeksi jumlah remitansi menggunakan angka rata-rata pertumbuhan migrasi sebesar 1,1 persen per tahun, maka remitansi tahun 2019 mencapai 11.095 juta dollar AS. Dalam World Migration Report 2020 yang diterbitkan International Organization for Migration (IOM) akhir tahun 2019, Indonesia masuk dalam kategori 10 besar negara Asia penerima remitansi dari pekerja migrannya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, di sela-sela diskusi Migrant Care Outlook 2020, Senin (27/1/2020), di Jakarta, mengatakan, besaran pungutan biaya jasa pengiriman uang idealnya berkisar 2-3 persen. Kisaran ini telah dikaji oleh Bank Dunia.
Akan tetapi, tak hanya di Indonesia, negara lain juga mengalami kondisi serupa. Dia mencontohkan Etiopia dan Nepal. Besaran biaya jasa pengiriman bisa mencapai di atas 20 persen.
"Adanya pungutan biaya jasa pengiriman uang juga bisa dimaknai negara kehilangan pendapatan. Semakin tinggi beban biaya jasa berarti semakin tinggi potensi pendapatan yang hilang," ujar Wahyu.
Perolehan remitansi terkalkulasi dari total pendapatan di APBN. Sebagai contoh, pendapatan remitansi tahun 2018 mencapai sekitar 6,91 persen dari total APBN 2019.
Bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya, tingginya beban biaya jasa pengiriman memberatkan. Apalagi para penyedia jasa pengiriman cenderung menetapkan biaya yang disesuaikan dengan kecepatan uang sampai. Dia menganologikan seperti pengiriman barang. Semakin rendah ongkos kirim, maka durasi barang sampai tujuan semakin lama.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar regulator di industri jasa keuangan di Indonesia menyikapi fenomena tersebut. Kemunculan teknologi keuangan digital semestinya bisa dioptimalkan agar beban biaya pengiriman uang dari luar negeri turun.
Berbicara remitansi, Wahyu mengakui masih banyak persoalan lain. Misalnya, permasalahan klasik menyoal literasi keuangan kepada pekerja migran dan keluarganya agar pendapatan dipakai untuk kegiatan produktif sehingga siklus migrasi tidak terulang. Selama ini, remitansi masih jamak dipakai untuk aktivitas konsumtif ketika pekerja pulang ke Tanah Air.
Di sisi lain, dalam diskusi itu turut dibahas berbagai dimensi persoalan dan kerentanan pekerja migran, utamanya menyangkut pemenuhan hak asasi mereka.
Kasus buruh
Di balik tren peningkatan remitansi, Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah menggambarkan kehidupan pekerja migran, terutama perempuan, seperti layang-layang putus. Bagi perempuan pekerja migran yang berhasil pulang ke Tanah Air, tetapi pernah mendapat perkara hukum pidana di negara penempatan, mereka dan keluarganya tetap menyandang stigma negatif.
Contohnya Iti Sarniti, ibu dari almarhum Tuti Tursilawati, pekerja migran asal Majalengka yang pada tahun 2010 divonis hukuman pancung oleh pengadilan Arab Saudi. Tuti didakwa membunuh majikan yang sebelumnya berusaha memerkosanya.
Pada Oktober 2018, Tuti menjalani eksekusi mati. Hingga sekarang, masyarakat sekitar tempat tinggal Iti masih memasang stigma negatif sehingga membuatnya tidak berani keluar rumah. "Pemerintah mengabaikan pemulihan atau rehabilitasi pascapemulangan," kata dia.
Yuniati Chuzaifah, komisioner Komnas Perempuan periode 2010 - 2019, memandang, purna pekerja migran semestinya dapat berkontribusi besar terhadap kemajuan perekonomian desa asalnya. Di salah satu desa asal kini berkembang komunitas purna pekerja migran yang mengembangkan kerajinan batik tulis. Masyarakat pun akhirnya menjadi berdaya.
Dalam beberapa tahun mendatang, kemunculan teknologi digital akan mempengaruhi migrasi pekerja. Urusan pengurusan visa, misalnya, sudah menerapkan digitalisasi. Sayangnya, kemudahan ini banyak disalahgunakan, seperti maraknya pengiriman pekerja migran menggunakan visa turis.