Blok Masela memang penuh hal tak terduga. Keputusan berubah-ubah karena tarik menarik argumentasi dan kepentingan antar kubu. Padahal, pelaku usaha dan investor membutuhkan konsistensi kebijakan pemerintah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Lika-liku pengelolaan Blok Masela di lepas pantai Maluku, menurut para pengusaha Jepang, betul-betul membuat mereka tak pernah menduga sebelumnya. Hal yang jauh di luar dugaan adalah begitu lamanya keputusan pemerintah menyangkut model kelola gas. Ditemukan sejak 1998, gas Blok Masela baru diputuskan untuk dikelola di darat pada 2016.
Demikian salah satu poin yang disampaikan Presiden The Jakarta Japan Club (JJC) Kanji Tojo dalam sebuah konferensi pers pekan lalu di Jakarta. JJC merupakan perkumpulan yang mewakili sektor komersial dan industri dari Jepang. Mereka menyampaikan empat rekomendasi di bidang ekonomi kepada pemerintah yang juga disampaikan dalam konferensi pers tersebut.
Pada September 2015, Inpex Corporation dan Shell mengajukan rencana pengelolaan (POD) Blok Masela di laut dengan nilai investasi 14 miliar dollar AS atau lebih murah 5 miliar dollar AS dari nilai pengembangan di darat. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak (SKK Migas) juga menyarankan hal sama. Lantaran masih kuatnya tarik ulur darat dan laut, pemerintah mengundang konsultan independen untuk memberi masukan.
Hasilnya sama. Rekomendasi yang keluar pada akhir 2015 saat itu adalah agar gas diolah di laut lepas. Namun, hal yang mengejutkan terjadi pada Maret 2016. Pada sebuah konferensi pers di bandara, Presiden Joko Widodo mengumumkan sikap bahwa pemerintah ingin pengembangan gas di darat sehingga menuntut perubahan atau revisi POD.
Perubahan tersebut praktis memerlukan kajian baru. Rencana produksi yang semula bisa diwujudkan pada 2024, mundur menjadi paling cepat di 2027. Estimasi investasinya menjadi 19,8 miliar dollar AS atau lebih mahal dari yang diusulkan semula.
Apa yang bisa diambil dari pelajaran itu? Katanya, pemerintah ingin menggaet investasi asing sebanyak-banyaknya. Reformasi birokrasi berusaha diwujudkan. Aturan yang dipandang menghambat investasi dicabut atau dibatalkan.
Sayangnya, hal itu belum membuat Indonesia menjadi negara yang menarik untuk berinvestasi. Puluhan perusahaan yang mengalihkan lokasi industri mereka akibat perang dagang Amerika Serikat dengan China, tak satu pun yang mampir ke Indonesia. Mereka lebih tertarik dengan negara lain di Asia Tenggara.
JJC memberikan beberapa rekomendasinya. Perbaikan iklim investasi di Indonesia adalah rekomendasi pertama mereka. Beberapa poin yang masuk dalam rekomendasi ini adalah perlunya transparansi tentang perpajakan dan fiskal. Selain itu, dunia usaha membutuhkan konsistensi kebijakan yang dibuat pemerintah.
Lebih jauh tentang konsistensi kebijakan adalah pernyataan sejumlah pejabat pemerintah berbeda-beda untuk hal yang sama. Bagi investor, ini hal membingungkan. Yang mana yang bisa dipegang ucapannya? Begitu kira-kira. Mirip dengan kisah Masela ketika kementerian dan institusi teknis terkait merekomendasikan pengelolaan gas di laut, tapi keputusan di kemudian hari adalah di darat.
Industri hulu migas Indonesia memang (masih) penuh liku. Ratusan perizinan (lebih dari 300 izin) mesti diurus investor, mulai perizinan di tingkat pusat sampai ke daerah. Bertumpuknya izin itu tak disertai kejelasan kapan selesainya.
Pemerintah memang sudah berbenah. Sebanyak 56 perizinan di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dicabut atau dibatalkan karena dianggap menghambat investasi. SKK Migas beberapa waktu lalu meluncurkan kebijakan layanan satu pintu yang menjanjikan percepatan dan penyederhanaan birokrasi. Satu yang diperlukan, konsistensi atas pembenahan tersebut.