Pelaku Industri Keberatan Soal Bebas Muatan Berlebih
Rencana penerapan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih terancam tertunda lagi. Kebijakan itu ditolak pelaku industri karena dinilai bakal mendongkrak biaya logistik dan melemahkan daya saing.
Oleh
Nobertus Arya Dwiangga / C Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih tahun 2021 sejatinya akan dimulai bertahap di ruas jalan tol tahun ini. Namun, Kementerian Perindustrian dan sejumlah pelaku keberatan. Penerapannya dianggap bakal mendorong ongkos pengangkutan dan memperlemah daya saing industri.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, pihaknya meminta Kementerian Perhubungan menunda pelaksanaan dan memberikan kelonggaran kepada pelaku industri. Permintaan itu dalam rangka melindungi industri nasional.
”Kementerian Perhubungan memiliki kemauan politik memberikan kelonggaran agar industri memiliki masa transisi yang cukup,” kata Agus di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Kementerian Perhubungan, kata Agus, memberi kelonggaran hingga tahun 2022. Namun, ada satu ruas yang sama sekali dikecualikan dalam kelonggaran itu, yakni jalan antara Jakarta dan Karawang. Ruas jalan tersebut dinilai terlalu padat kendaraan.
Usul penundaan juga disampaikan Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) dan Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin). Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menyatakan, pihaknya khawatir penerapan kebijakan itu mendongkrak biaya logistik yang saat ini berkisar 10-12 persen dari harga jual keramik.
Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat menyatakan, pihaknya membutuhkan waktu untuk persiapan setidaknya hingga tahun 2023-2025.
Terkait permintaan itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, pihaknya akan mengidentifikasi masalah dan manfaatnya lebih dulu. Secara informal, Kementerian Perhubungan dapat memundurkan kebijakan sampai tahun 2022.
Penegakan hukum
Seiring pemberlakuan kebijakan itu, penindakan hukum juga akan ditempuh oleh pemerintah. Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan, penertiban terus dilakukan kepada pelanggar. Kendaraan dengan ukuran berlebih akan dipotong seperti dilakukan di Padang, Semarang, dan Bekasi.
Sanksi denda juga diterapkan. Di Riau, untuk pertama kali, kasus modifikasi kendaraan dijatuhi denda Rp 12 juta dari maksimal Rp 24 juta. Kasus serupa terjadi di Padang dengan denda Rp 15 juta.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menilai perlunya pemindahan angkutan barang dari darat ke moda lain, terutama di Jawa, yakni ke laut atau kereta. Saat ini, sekitar 95 persen angkutan barang di Jawa menggunakan jalan raya.
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai, masalah kendaraan bermuatan atau berukuran lebih sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk membenahi tata kelola logistik nasional. Hal itu menyangkut infrastruktur, sarana transportasi, komoditas yang dihasilkan industri, sampai tarif.
Secara teoretis, untuk jarak di atas 500 kilometer, barang semestinya diangkut dengan angkutan laut. Namun, angkutan laut lebih mahal karena menggunakan bahan bakar minyak nonsubsidi. Demikian pula angkutan kereta juga lebih mahal dibandingkan truk karena dikenai pajak 10 persen.
Di sisi lain, ada beberapa komoditas yang pola distribusinya tidak efisien, seperti semen yang diproduksi di wilayah barat dan didistribusikan ke timur atau sebaliknya. Hal ini menimbulkan inefisiensi.
Terkait pemberian toleransi, kata Djoko, hal itu lebih baik tidak dilakukan. Sebab, lima komoditas yang diberi kelonggaran, yakni semen, baja, kaca lembaran, beton ringan, dan air minum kemasan, selama ini berkontribusi besar bagi kendaraan bermuatan lebih.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Logistik Nasional Zaldy Ilham Masita. Kelebihan muatan kendaraan pengangkut air minum kemasan bahkan mencapai 200 persen. Harga air minum kemasan murah karena biaya logistik berkontribusi sampai 40 persen. Namun, jalan kabupaten di sekitar lokasi mata air menjadi rusak.