Perlu Transparansi demi Efektivitas Pendanaan Campuran
Pemerintah RI, diwakili Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, membagikan pengalaman terkait pelaksanaan pendanaan campuran di Indonesia. Berbagai kendala berusaha diurai dalam konferensi OECD di Paris, Perancis.
Oleh
Adi Prinantyo dari Paris, Perancis
·3 menit baca
PARIS, KOMPAS — Aspek transparansi mutlak diperlukan untuk memonitor dan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan proyek pembangunan yang dibiayai dengan pola blended finance (pendanaan campuran). Selain transparansi, faktor kedua yang tak kalah penting adalah penguatan semangat kolaborasi dan berbagi pengetahuan serta pengalaman dari mereka yang sudah menjalankan pendanaan campuran.
Hal tersebut disampaikan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam Konferensi Pendanaan Swasta untuk Pembangunan Berkelanjutan, yang diselenggarakan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) di Paris, Perancis, Selasa (28/1/2020).
Wimboh memaparkan sambutan pembuka dalam forum yang dihadiri Head of Division and Senior Counselor OECD Haje Schuete serta puluhan perwakilan OECD, Forum Tri Hita Karana, organisasi ekonomi internasional, dan kalangan filantrop.
Menurut Wimboh, Pemerintah Indonesia meyakini bahwa menyelaraskan kerangka dan standar pendanaan campuran serta mewajibkan lembaga-lembaga terkait memublikasikan data tentang kemajuan proyek akan membantu proses analisis proyek-proyek potensial di masa depan.
”Ini semua faktor-faktor krusial untuk mendongkrak transparansi di pasar, sekaligus menjamin bahwa ekses-ekses yang muncul sejalan dengan tujuan pembangunan dan harapan para investor. Dengan menyelaraskan standar-standar dan menyediakan sistem peringkat yang kredibel, kami berharap praktik-praktik ini secara luas diterima, dan ke depan makin banyak proyek didanai blended finance,” tutur Wimboh.
Terkait faktor kedua, yakni semangat kolaborasi, ia mengungkapkan, kolaborasi di dalam dan di luar kawasan regional, misalnya berupa asistensi teknis dan masukan, terbukti menjadi sarana yang mujarab bagi Indonesia dalam pendanaan campuran. ”Seharusnya itu distandardisasi untuk menyiapkan formula serupa ke sejumlah negara yang membutuhkan,” lanjutnya.
Proyek di Indonesia
Dalam kesempatan itu, ia mencontohkan pelaksanaan blended finance di Indonesia, yang sejauh ini dirasa cukup berhasil, yakni kerja sama Pemerintah RI dengan investor swasta dalam mendanai proyek SDG 14, yakni kehidupan di bawah laut di Papua Barat serta Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Proyek ini diproyeksikan bernilai 50 juta dollar AS (sekitar Rp 680 miliar), dengan pemerintah menghibahkan dana 2 juta dollar AS dan dukungan 6 juta-10 juta dollar AS dari donatur/dermawan.
Proyek ini, lanjut Wimboh, meliputi pembangunan beberapa infrastruktur kelautan, termasuk pelabuhan, cold storage, dan galangan reparasi. ”MoU antara pemerintah dan PT Sarana Multi Infrastruktur telah ditandatangani untuk menunjukkan komitmen kuat dari para pihak yang terlibat. Selain itu, kami mengundang pihak-pihak lain untuk ikut bekerja sama dalam inisiatif ini guna menjadi laboratorium implementasi blended finance di bidang ekonomi kelautan,” ujarnya lagi.
Haje Schuete mengapresiasi upaya Pemerintah RI untuk berbagi pengalaman terkait pendanaan campuran dalam forum OECD. ”Saya sangat mengapresiasi komitmen Pemerintah Indonesia dalam event ini. Pengalaman yang telah dibagikan Indonesia melalui presentasi Saudara Wimboh sangat bermanfaat bagi pengembangan blended finance sehingga tepat rasanya Indonesia mengambil peran strategis dalam forum ini,” katanya.
Schuete menambahkan, kepeloporan Indonesia sangat krusial dalam pengembangan pendanaan campuran. ”Informasi soal komitmen politik Pemerintah Indonesia dalam blended finance dan urusan pendanaan yang menjadi ranah investor swasta memberi pemahaman yang komplet bagi peserta tentang apa yang telah dilakukan Indonesia. Tentu saja ini sangat bermanfaat tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara lain,” tuturnya.
Dalam presentasinya, Schuete menjelaskan, tercatat dana 2,4 miliar dollar AS (setara Rp 32,7 triliun) dari OECD dikucurkan per tahun untuk mendanai pembangunan negara-negara berkembang, dengan 10 daftar utama mayoritas dari Afrika dan Asia. Negara-negara berkembang itu meliputi Uganda yang menerima 310 juta dollar AS, Myanmar (284 juta dollar AS), Benin (231 juta dollar AS), Mauritania (168 juta dollar AS), Bangladesh (130 juta dollar AS), Kamboja (128 juta dollar AS), Zambia (127 juta dollar AS), Togo (124 juta dollar AS), Guinea (116 juta dollar AS), dan Senegal (87 juta dollar AS).