Enam Substansi Pokok ”Omnibus Law” Perpajakan
”Omnibus law” Perpajakan bakal memuat enam substansi pokok yang sifatnya berupa tren reformasi perpajakan. Pemerintah menargetkan ”omnibus law” Perpajakan ini dapat diundangkan akhir 2020 atau paling lambat 2021.
Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian— kerap disebut omnibus law Perpajakan, resmi masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Namun, pembahasan RUU belum bisa dilakukan karena surat presiden belum diserahkan ke DPR.
Surat presiden (surpres) terkait omnibus law Perpajakan direncanakan diserahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Ketua DPR Puan Maharani pada Rabu (29/1/2020) sore kemarin. Namun, rencana penyerahan surpres itu batal tanpa alasan yang jelas.
Presiden Joko Widodo menyatakan telah menandatangani surpres terkait omnibus law Perpajakan itu. Tenggat penyerahan surpres dan draf RUU serta naskah akademiknya mesti diserahkan sebelum Januari ini berakhir.
Pemerintah menargetkan omnibus law Perpajakan ini dapat diundangkan pada akhir 2020, atau paling lambat pada 2021.
RUU Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan disusun melalui mekanisme omnibus law. Omnibus law Perpajakan ini akan mengakomodasi enam UU yang terdiri dari UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Kepabeanan, UU Cukai, dan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Baca juga : "Omnibus Law" dan Reformasi Perpajakan
Berbeda dengan RUU Cipta Lapangan Kerja yang drafnya tersebar di publik dan menimbulkan ”kegaduhan”, draf RUU Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan ini cenderung aman. Draf omnibus law Perpajakan tidak beredar liar ke publik, bahkan ke anggota DPR sekalipun.
Apa saja substansi pokok omnibus law Perpajakan?
Sebagaimana dikemukakan Sri Mulyani, omnibus law Perpajakan ini akan membuat enam substansi pokok. Pertama, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan secara bertahap dari 25 persen menjadi 22 persen tahun 2021-2022, kemudian menjadi 20 persen tahun 2023.
Selain itu, PPh badan bagi perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana (go public) berlaku tarif umum sebesar 3 persen. Pemerintah juga melakukan penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga, serta menghapus PPh Pasal 23 atau dividen dalam negeri.
Direktorat Jenderal Pajak memperkirakan, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat penurunan PPh badan dari 25 persen menjadi 22 persen itu mencapai Rp 53 triliun. Adapun potensi kehilangan dari penghapusan PPh Pasal 23, berkaca dari realisasi tahun 2018, sekitar Rp 40 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengingatkan, pemerintah harus mewaspadai risiko jangka pendek berupa tergerusnya penerimaan pajak. Peluasan basis pajak menjadi keniscayaan untuk menambal potensi penerimaan yang hilang.
Di sisi lain, menurut Prastowo, sejauh ini belum ada bukti empirik yang kuat bahwa penurunan PPh badan menyebabkan terjadinya banjir investasi yang dibarengi peningkatan penerimaan pajak. Penurunan PPh hal wajar jika tujuannya menjaga daya saing dan daya tarik.
Sementara itu, subsitansi kedua omnibus law Perpajakan adalah pemberlakukan sistem teritorial untuk penghasilan tertentu dari luar negeri. Pengecualian penghitungan penghasilan luar negeri hanya dilakukan terhadap obyek PPh tertentu, yaitu dividen dan laba bentuk usaha tetap (BUT).
Baca juga : "Omnibus Law" Berpotensi Tumbuhkan Investasi 2020
Selain itu, ada syarat khusus yang juga mengatur pengecualian penghitungan penghasilan luar negeri hanya dapat dilakukan jika penghasilan itu diinvestasikan kembali di Indonesia.
Pengenaan PPh untuk investasi kurang dari 30 persen dari laba setelah pajak luar negeri, serta selisih investasi sampai dengan 30 persen. Adapun laba setelah pajak di luar negeri tidak dikenai PPh.
Ketiga, omnibus law Perpajakan mengatur subyek pajak orang pribadi (SPOP). WNI yang berada di luar negeri lebih dari 183 hari akan menjadi subyek pajak luar negeri (SPLN). Adapun warga negara asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari akan menjadi subyek pajak dalam negeri (SPDN) sehingga akan dikenai PPh atas penghasilan dari Indonesia dalam empat tahun pertama.
Adapun substansi pokok keempat omnibus law Perpajakan menitikberatkan pada penciptaan iklim berusaha dalam negeri dengan menetapkan sistem pemajakan elektronik serta melakukan rasionalisasi pajak daerah.
Omnibus law Perpajakan akan mengatur pemajakan transaksi elektronik melalui penunjukan platform untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mengenakan PPh kepada seluruh SPLN atas transaksi elektronik di Indonesia.
Dengan aturan ini, pemerintah dapat memungut PPh terhadap perusahaan over the top— seperti Netflik, Spotify, ataupun Facebook—kendati mereka tidak mendirikan BUT di Indonesia. Pungutan PPh berdasarkan kegiatan ekonomi yang perusahaan over the top itu peroleh dari Indonesia.
Sementara itu, omnibus law Perpajakan juga mengatur rasionalisasi pajak daerah. Pemerintah pusat akan menetapkan tarif pajak daerah yang berlaku secara nasional, dan dapat membatalkan peraturan daerah (perda) yang dianggap menghambat investasi. Sejauh ini belum ditetapkan jenis dan tarif pajak daerah yang akan dirasionalisasi.
Baca juga : Sengketa Terkait Pajak Digital Jadi Sorotan
Kelima, omnibus law Perpajakan akan memperkuat fasilitas perpajakan, antara lain berupa tax holiday, superdeduction tax, fasilitas PPh untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), fasilitas PPh untuk surat berharga negara, serta keringanan, pengurangan, dan pembebasan pajak daerah oleh kepala daerah.
Terakhir, keenam, omnibus law Perpajakan mendorong kepatuhan wajib pajak sukarela yang meliputi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak, pengaturan ulang sanksi administrasi— berupa bunga keterlambatan denda kesalahan dan imbalan bunga pajak, pabean, dan cukai.
Kapan pembahasan omnibus law Perpajakan selesai?
Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto mengatakan, pembahasan omnibus law Perpajakan diperkirakan selesai dalam 2-3 kali masa sidang terhitung sejak Surpres dan Draf RUU serta naskah akademik diserahkan ke DPR. Perkiraan 2-3 kali masa sidang itu berkisar 6-7 bulan ke depan.
”Kalau political will lancar, semua pembahasan bisa selesai paruh kedua tahun 2020,” kata Dito.
Menurut Dito, pembahasan omnibus law Perpajakan tidak memakan waktu lama. Hal itu karena hanya enam UU yang dibahas berbeda dengan RUU Cipta Lapangan Kerja yang mencakup lebih dari 80 UU. Substansi pokok perpajakan yang diajukan pemerintah juga dinilai penting sehingga tidak menimbulkan banyak perdebatan.
Peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, berpendapat, secara umum penyusunan omnibus law untuk RUU Perpajakan adalah respons cepat pemerintah yang positif. Omnibus law Perpajakan diyakini dapat menciptakan kestabilan nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Omnibus Perpajakan akan memberikan sejumlah relaksasi. Namun, menurut Bawono, pemerintah perlu memberlakukan kebijakan relaksasi bersyarat untuk memobilisasi penerimaan pajak. Relaksasi bersyarat dapat dilakukan dengan ”memaksa” wajib pajak untuk memberikan data informasi atau melakukan kegiatan ekonomi di sektor riil.
Selain itu, relaksasi juga dapat diberikan berdasarkan kepatuhan wajib pajak. Tren reformasi perpajakan kini memang berorientasi pada relaksasi untuk perbaikan daya saing
”Namun, relaksasi yang dilakukan banyak negara hanya dengan mengubah rezim, mengurangi tarif, atau memberi insentif. Sementara Indonesia menawarkan seluruh relaksasi itu dalam omnibus law perpajakan,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan skenario pendukung untuk menjamin omnibus law berpengaruh signifikan bagi ekonomi tanpa mengganggu penerimaan tahun berjalan. Kebijakan relaksasi harus dibarengi perluasan basis pajak. Jangan sampai relaksasi secara bertahap menggerus basis pajak karena partisipasi membayar pajak turun.