Transportasi Massal Beri Nilai Tambah Ruang Perkantoran
Faktor kedekatan lokasi dengan simpul transportasi massal dinilai jadi pertimbangan bagi konsumen meski pasar ruang perkantoran diperkirakan masih menghadapi tekanan akibat ketimpangan antara pasokan dan permintaan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tekanan terhadap pasar ruang perkantoran di Jakarta dinilai masih terjadi tahun ini meski permintaan dianggap masih besar. Faktor kedekatan lokasi dengan simpul transportasi massal akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi calon penyewa ruang.
Data JLL Indonesia, perusahaan jasa real estat global, menyebutkan, hingga akhir 2019, total penyerapan ruang sewa perkantoran di kawasan pusat bisnis sekitar 200.000 meter persegi dengan tingkat okupansi 76 persen. Namun, angka itu di bawah pasokan ruang perkantoran baru yang mencapai 360.000 meter persegi.
“Ke depan (pasar perkantoran) masih akan melambat meski penyewa lokal masih menunjukkan tanda-tanda yang agresif,” kata Head of Research JLL Indonesia, James Taylor, di Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Tahun ini, pasokan ruang perkantoran baru diperkirakan mencapai 520.000 meter persegi pasokan ruang perkantoran baru. Sementara 10 tahun terakhir, rata-rata permintaan ruang sewa perkantoran hanya 194.000 meter persegi.
Sementara, ruang perkantoran di luar kawasan pusat bisnis (CBD) yang berkembang pesat adalah wilayah selatan khususnya TB Simatupang. Namun demikian, di akhir triwulan IV-2019, penyerapan ruang perkantoran di luar CBD hanya 9.000 meter persegi karena tidak ada gedung baru yang selesai dibangun. Adapun permintaan per tahun rata-rata sekitar 194.000 meter persegi.
Di sisi lain, selesainya infrastruktur berupa MRT Jakarta juga menjadi salah satu hal yang diperhitungkan calon penyewa. Head of Markets JLL Indonesia Angela Wibawa berpandangan, kedekatan dengan simpul transportasi massal, seperti MRT, semakin sering ditanyakan calon penyewa.
“Memang pada prinsipnya lokasi kantor masih menjadi faktor utama. Namun, jika kantor tersebut dekat dengan, misalnya stasiun MRT, maka itu menjadi nilai tambah,” kata Angela.
Menurut Angela, meskipun kedekatan dengan transportasi massal belum sampai memengaruhi harga sewa, namun hal itu akan menjadi bahan pertimbangan yang penting bagi calon penyewa. Bukan tidak mungkin ketersediaan transportasi massal akan membentuk sebuah pasar baru.
Senada dengan itu, Head of Advisory JLL Indonesia Vivin Harsanto berpandangan, nilai tambah dari adanya infrastruktur terhadap properti seperti perkantoran tidak terjadi tiba-tiba. Jika penggunaan sarana transportasi semakin tinggi, maka itu menjadi nilai tambah. Demikian pula adanya transportasi massal tidak serta merta membuat harga sewa perkantoran naik.
Di sisi lain, adanya transportasi massal juga memicu minat pengembang untuk melakukan pengembangan berbasis transit (TOD). Selama 2019, secara umum mereka menunggu momen atau waktu yang tepat untuk meluncurkan produknya.
“TOD adalah wilayah di transportasi massal, yakni LRT dan MRT. Biasanya komponennya adalah apartemen, residensial, dan ritel. Lalu lama waktu berjalan menuju simpul transportasi hanya 5 sampai 8 menit atau sekitar 500 sampai 800 meter,” kata Vivin.
Namun demikian, membangun TOD mesti melihat kondisi dan disesuaikan dengan segmen pasar yang dituju. Misalnya, saat ini penjualan kondominium yang berada di tingkat 63 persen menandakan penurunan. Hal ini mesti dicermati agar produk yang dibangun dapat diserap pasar yang memang disasar.