Tetap ke Kafe dan Mal, Tak Lupa Investasi
Porsi generasi muda dan milenial dalam instrumen investasi terus meningkat. Mereka tertarik berinvestasi karena kemudahan yang ditawarkan melalui platform digital.
Siapa bilang anak-anak muda hanya gemar ngafe dan ngemal sampai-sampai lupa menyisihkan dana untuk masa depan? Generasi yang lahir setelah tahun 1980-an ini memiliki akses informasi yang luas dan relatif lebih mudah. Seiring perkembangan teknologi digital yang menyediakan platform berinvestasi, anak-anak muda tak lagi canggung menempatkan dana mereka pada instrumen investasi.
Salah seorang di antaranya, Aditya. Karyawan swasta yang berkantor di Jakarta ini sedang berupaya menempatkan dananya pada obligasi ritel yang diterbitkan pemerintah secara kontinyu.
“Tidak besar, tapi setidaknya ada dana yang disisihkan untuk investasi,” kata Aditya di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Pada Oktober 2019, ia menempatkan dana Rp 5 juta pada Obligasi Negara Ritel ORI016. Surat Berharga Ritel (SBN) itu jatuh tempo pada 15 Oktober 2022 dengan tingkat kupon 6,8 persen. Pada November 2019, Aditya kembali menempatkan dana Rp 5 juta pada Sukuk Tabungan ST006. Investasi itu jatuh tempo pada 10 November 2021 dengan tingkat kupon 6,75 persen per tahun.
Aditya akan memperoleh nilai kupon bersih yang dibayarkan per bulan. Besarannya dihitung dari tingkat kupon dikurangi pajak 15 persen. Dari investasinya di ST006, misalnya, Aditya akan mendapat nilai kupon Rp 28.125 yang dikurangi pajak Rp 4.218,75. Dengan demikian, nilai kupon bersih yang diterima per bulan sebesar Rp 23.906,25.
Ia tak akan mengutak-atik investasi maupun nilai kuponnya sampai dengan saat jatuh tempo tiba. Baginya, menempatkan dana pada SBN ritel, kendati nilainya tak terlampau besar, adalah cara untuk berinvestasi.
Pada akhir Januari ini, Aditya juga sudah menyisihkan dana Rp 5 juta untuk membeli SBN ritel berupa Savings Bond Ritel 009. Dengan tingkat kupon mengambang -minimal 6,3 persen-, SBR009 memiliki jangka waktu atau tenor 2 tahun.
Keputusan Aditya berinvestasi dalam bentuk SBN ritel didasari kemudahan mengakses instrumen investasi. Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, merupakan penanggung jawabnya. Masyarakat dapat membeli secara dalam jaringan, sehingga bisa berinvestasi dari mana pun dan di mana pun.
Selain itu, nilai investasi minimal, yakni Rp 1 juta, dianggap tidak berat bagi investor muda dan pemula. “Bisa memaksa diri menyisihkan dana yang akan diinvestasikan,” ujar Aditya.
Sementara, Susan, karyawan swasta yang juga tinggal di Jakarta, memilih untuk menjadi investor melalui teknologi finansial pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Kendati baru menjajal sebagai pemberi pinjaman pada satu tekfin, namun Susan sudah berencana menambah lagi investasinya pada perusahaan tekfin lain.
“Selama kita memilih yang sesuai dengan profil risiko kita, maka saya berharap selalu aman,” kata Susan.
Susan tidak menampik bahwa risiko peminjam gagal mengembalikan pinjaman juga ada. Namun, risiko itu bisa diminalisasi dengan cara memilih peminjam yang memiliki rekam jejak baik.
“Memang, ada risiko yang tidak bisa kita kendalikan, seperti kondisi usaha peminjam. Namun, ada juga risiko yang bisa kita kendalikan, di antaranya memilih peminjam yang bernilai baik,” ujar Susan.
risiko itu bisa diminalisasi dengan cara memilih peminjam yang memiliki rekam jejak baik.
Platform digital
Menurut Susan, ia memilih menempatkan dananya pada tekfin pinjam-meminjam karena pertimbangan kemudahan mengakses layanan itu. Platform digital membuatnya nyaman bertransaksi kapan pun dan di mana pun, sepanjang ia bisa mengakses jaringan internet. Selain itu, ia tak memungkiri jika imbal hasil yang lumayan juga jadi pertimbangannya.
Kemudahan mengakses instrumen investasi merupakan salah satu pertimbangan bagi calon investor. Hal ini membuat tekfin pinjam-meminjam menjadi instrumen investasi yang dilirik generasi milenial. Dengan uang yang jumlahnya tak terlalu besar, sudah bisa ikut serta berinvestasi dengan imbal hasil tertentu.
Jika ditilik dari nilainya, sebenarnya reksa dana juga memungkinkan investasi dengan nilai yang tidak terlalu besar. Sudah ada reksa dana yang bisa dimiliki dengan Rp 100.000 per unit. Pembeliannya bisa melalui bank yang bekerja sama dengan manajer investasi.
PT Bank Commonwealth, misalnya, bekerja sama dengan sejumlah manajer investasi untuk menawarkan reksa dana bagi nasabahnya. Namun, lagi-lagi, kemudahan bagi nasabah jadi kunci, tanpa mengabaikan prinsip "kenali nasabahmu" dan kehati-hatian bagi bank.
Nasabah bisa menyusun sendiri pembelian dan penjualan reksa dana melalui platform digital yang disediakan bank. Ibaratnya, nasabah tak perlu meninggalkan rumahnya untuk berinvestasi. Namun, nasabah harus didata lebih dulu oleh bank.
Dalam perkembangannya, sejumlah tekfin juga menjembatani hubungan antara masyarakat dengan manajer investasi. Masyarakat bisa membeli reksa dana melalui platform digital, antara lain Bareksa dan Investree. Bahkan, pasar dalam jaringan seperti Tokopedia dan Bukalapak juga bekerja sama dengan Bareksa, menyediakan kemudahan bagi konsumen untuk membeli reksa dana lewat laman pasar daring tersebut.
Daya tarik
Kemudahan serupa membuat investasi anak-anak muda, termasuk generasi milenial, berupa SBN ritel meningkat signifikan. Pemerintah memang berniat membidik pasar anak-anak muda ini sebagai pembeli SBN ritel. Selain lewat platform digital, anak-anak muda juga semakin gampang membeli SBN ritel karena harga yang terjangkau.
Sebelumnya, SBN ritel hanya dipasarkan melalui bank-bank mitra penjualan. Kini, selain dengan bank, ada juga tekfin yang menjadi mitra. Namun, platform yang digunakan sama, yakni digital.
Perubahan lain terkait SBN ritel adalah besaran pembelian, yang kini bisa per unit senilai Rp 1 juta. Maksimum pembelian tetap, yakni Rp 3 miliar. Sebelumnya, pembelian dibatasi minimum 5 unit atau Rp 5 juta per nasabah. Dengan nilai pembelian yang lebih rendah, maka semakin banyak anak muda yang tertarik memiliki SBN ritel.
Bahkan, ada wacana Kementerian Keuangan untuk memperkecil besaran minimum SBN ritel per unit, yakni kurang dari Rp 1 juta. Tujuannya, membuat anak-anak muda dan masyarakat semakin tertarik membeli surat utang yang diterbitkan dan dijamin pemerintah ini.
Sebagaimana diberitakan (Kompas, 28/1/2020), Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, wacana itu masih dikaji. Ia memastikan, rencana tersebut belum akan diterapkan pada tahun ini.
Daya tarik SBN ritel bagi generasi milenial antara lain tercermin dalam data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kemenkeu. Data DJPPR menunjukkan, jumlah investor milenial pada 2017 sekitar 20-23 persen dari total investor SBN ritel.
Pada 2018, jumlahnya meningkat menjadi 42,22 persen. Kemudian, pada 2019, meningkat lagi menjadi 51,24 persen dari total investor SBN ritel.
Pada 2019, investor milenial ini membeli berbagai jenis SBN ritel yang diterbitkan pemerintah. Ada 10 SBN ritel yang diterbitkan tahun lalu, berupa savings bond ritel (SBR), ST, sukuk ritel, dan ORI.
Tahun ini, pemerintah akan menerbitkan SBN ritel sebanyak enam kali, dalam bentuk SBT, ST, sukuk ritel, dan ORI.
Tahun ini, pemerintah akan menerbitkan SBN ritel sebanyak enam kali, dalam bentuk SBT, ST, sukuk ritel, dan ORI.
Dominasi anak-anak muda juga terjadi dalam investasi melalui tekfin pinjam-meminjam uang berdasarkan teknologi informasi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan per November 2020, ada 591.662 pemberi pinjaman dan dan 17.244.998 peminjam melalui tekfin pinjam-meminjam.
Dalam kelompok pemberi pinjaman, sekitar 69,66 persen di antaranya berusia 19-34 tahun. Dominasi usia 19-34 tahun juga terjadi pada kelompok peminjam, yakni 70,6 persen dari total peminjam.
Anak-anak muda ini berperan dalam tekfin pinjam-meminjam yang perkembangannya cukup pesat. Sampai dengan akhir November 2019, total pinjaman yang disalurkan Rp 74,54 triliun.
Daya tarik berupa kemudahan dan kepraktisan membuat investasi dilirik anak-anak muda. Tak hanya ke kafe dan mal, namun juga mengalokasikan dana investasi. Siapa bilang anak-anak muda belum berpikir soal investasi? (Dewi Indriastuti)