Kementerian Komunikasi dan Informatika mendeteksi 36 jenis konten hoaks atau disinformasi terkait virus korona selama 23-30 Januari 2020. Hoaks meluas melalui media sosial dan aplikasi pesan instan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran hoaks atau disinformasi terkait wabah penyakit akibat virus korona meluas melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Penyebarannya beradu dengan konten fakta. Jika tidak ada penanganan, kekhawatirannya adalah menyesatkan pemahaman publik.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Ferdinandus Setu, saat dihubungi Jumat (31/1/2020), di Jakarta, menyebutkan, ada 36 jenis konten hoaks atau disinformasi terkait virus korona. Jumlah itu terdeteksi lewat mesin pengais konten Kemkominfo sejak tanggal 23 hingga 30 Januari 2020 sore.
Konten hoaks umumnya tersebar di media sosial dan aplikasi pesan instan. Contohnya adalah konten berjudul ”virus korona dapat dicegah dengan rutin minum air putih dan menjaga tenggorokan tetap lembab”. Contoh lainnya, ”sup kelelawar penyebab virus korona”.
Kemenkominfo beberapa kali mengimbau agar masyarakat cerdas berkomunikasi menggunakan media sosialnya. Cerdas berarti masyarakat harus bisa memilah dan memilih informasi sebelum itu diteruskan.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengimbau agar masyarakat tidak mengaitkan virus korona dengan masalah-masalah lain yang bisa berdampak negatif terhadap negara, dari sektor ekonomi, politik, dan lainnya.
Analisis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, menyebutkan, ada tiga motif penyebaran hoaks atau disinformasi konten terkait virus korona melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Motif pertama adalah sengaja menyebarkan hoaks atau disinformasi karena sentimen anti-China.
Motif kedua adalah individu/publik yang ingin menjadi pertama menyebarkan konten sehingga dia tidak kritis membaca keseluruhan pesan. Di motif kedua ini media massa ikut andil, misalnya memasang judul yang sensasional dan cenderung menyesatkan.
Motif ketiga adalah latah. Individu/publik yang suka ikut menyebarluaskan kembali informasi tanpa mengecek kebenaran fakta.
”Sejumlah tokoh masyarakat juga tidak kritis terhadap informasi perkembangan wabah penyakit akibat virus korona. Sementara pada saat bersamaan, realitanya memang belum ada kepastian terhadap asal muasal hingga obat bagi wabah penyakit itu,” ujarnya.
Drone Emprit mulai mengumpulkan data penyebaran konten wabah penyakit akibat virus korona sejak 25 Januari 2020. Kata kunci yang dipakai adalah virus, #coronavirus #wuhanvirus, dan #coronavirusoutbreak. Volume percakapan di Twitter dengan menyebut ”corona virus” sangat banyak.
Per tanggal 25 Januari 2020, setidaknya volume percakapan dengan penyebutan itu mencapai 1 juta per hari. Keesokan harinya, yakni tanggal 26 Januari, volume percakapan dengan penyebutan yang sama naik menjadi 2 juta per hari. Penyebutan ”corona virus” bersumber dari media massa daring Indonesia (29.284 kali), akun Twitter (3,37 juta kali), YouTube (3.864 kali), dan Instagram (2.495 kali).
Contoh konten retweeted paling banyak berasal dari akun @riarifrahman. Isinya: ”Di Indonesia dulu juga banyak orang makan tikus (sulut), kelelawar, ular, dll. Tp tidak ada yg terjangkut virus seperti itu. Yang dicurigakan sebenarnya kalau virus corona itu merupakan virus mematikan yang ’lepas’ dari Lab BSL-4 di Wuhan. Bukan dari hewan tersebut.” Kicauan ini memperoleh 20.632 kali retweeted dan tanda suka 24.798 kali.
”Percakapan mengenai virus korona hampir merata di seluruh Indonesia. Akan tetapi, percakapan paling banyak berasal dari warganet yang bermukim di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Percakapan serta penyebaran informasi di media sosial bercampur antara konten benar, disinformasi, dan hoaks,” ujar Ismail.
Ismail menambahkan, tiadanya sumber informasi resmi yang secara berkala mendistribusikan penyebaran konten perkembangan virus korona berakibat percakapan di internet menjadi bebas. Fakta ataupun tidak menyatu. Masyarakat akhirnya tidak punya rujukan resmi ketika menerima penyebaran konten.
”Untuk media massa, masyarakat memang mengenal adanya lembaga media yang menjalankan cek fakta. Akan tetapi, masyarakat membutuhkan rujukan resmi atau penyebaran informasi fakta secara berkala. Pemerintah Singapura bahkan sudah membuat akun resmi yang setiap hari menyebarluaskan informasi perkembangan terbaru virus korona,” tuturnya.
Hoaks atau disinformasi terkait wabah penyakit akibat virus korona juga terjadi secara global. Bloomberg melalui artikel ”Coronavirus Misinformation Is Spreading All Over Social Media (30 Januari 2020)” menyebutkan beberapa contoh. Misalnya, serangkaian kicauan Twitter dan unggahan di Facebook yang membahas teori konspirasi Amerika Serikat dan mengatakan minum pemutih dapat melindungi dari virus korona atau bahkan menyembuhkannya. Contoh lain, virus korona dan kaitannya dengan praktik usaha kuliner yang meledak di China.
Maria Van Kerkhove, Head of the WHO\'s Emerging Diseases Unit, mengakui ada banyak informasi virus korona yang salah dan beberapa di antaranya bisa sangat menyesatkan publik.
Maria Van Kerkhove, Head of the WHO\'s Emerging Diseases Unit, mengakui ada banyak informasi virus korona yang salah.
Dalam pernyataan resminya, Twitter Inc mengatakan, perusahaan sedang berusaha mencegah informasi buruk yang terkait dengan virus korona dengan mengarahkan pengguna ke sumber yang lebih andal dan mendorong pengguna untuk mengunjungi laman Centers for Disease Control and Prevention.
Mitra pemeriksa fakta Facebook Inc, organisasi independen yang menandai unggahan bermasalah di platform Facebook, telah memberi label informasi yang salah tentang virus korona sehingga pengguna tahu itu salah. Facebook juga memperingatkan orang-orang yang mungkin telah berbagi informasi yang salah sebelum diperiksa fakta.