Sesulit apa pun, Fauzi berupaya mempertahankan produksi batik gentongan, salah satu batik termahal di Pulau Madura. Dia berharap produknya menjadi penawar rindu. Oase bagi orang-orang yang mencarinya.
Oleh
Iqbal Basyari / Agnes Swetta
·4 menit baca
Salah satu penyebab terus berkurangnya pembatik gentongan adalah proses pembuatannya yang memerlukan waktu lebih lama dibandingkan batik tulis lain. Setidaknya butuh waktu hingga satu tahun untuk membuat satu lembar batik gentongan. Akibatnya, pembatik tidak bisa segera menjual hasil produksinya.
Lamanya proses pembuatan batik gentongan menjadikannya sebagai salah satu jenis batik termahal di Pulau Madura. Untuk satu lembar batik gentongan, pembeli harus merogoh kocek mulai dari Rp 2 juta per lembar kain. Angka itu terpaut jauh jika dibandingkan dengan harga batik tulis Madura umumnya yang dijual dengan harga mulai dari Rp 150.000 per lembar.
Dengan harga setinggi itu, konsumen batik gentongan sangat spesifik, setidaknya tidak sebanyak konsumen batik tulis lainnya. Para pembeli biasanya lebih memilih batik tulis bukan gentongan karena harganya yang lebih murah. Akibatnya, batik gentongan berangsur sulit ditemukan di pasaran, bahkan di daerah asalnya, yakni di Tanjungbumi.
”Kalau semua pembatik fokus di batik tulis, batik gentongan dari Tanjungbumi bisa punah,” kata Fauzi di Bangkalan, Jumat (20/12/2019).
Saat ini, jumlah pembatik gentongan di Tanjungbumi tinggal belasan orang. Sebagian besar pembatik di daerah ini mulai meninggalkan batik gentongan karena pasarnya tidak lagi sebanyak batik tulis. Faktor lain yang membuat jumlah pembatik berkurang adalah rendahnya regenerasi pembatik.
Batik gentongan dinamakan demikian karena proses pembuatannya menggunakan gentong untuk pewarnaan kain batik. Pada mulanya, kain yang sudah diberi motif direndam di gentong untuk proses pewarnaan. Gentong itu dipendam dalam kamar yang tidak boleh sembarangan dimasuki orang.
Proses perendaman ini dilakukan berulang-ulang hingga satu tahun. Saat merendam kain batik ke gentong, pembatik juga diharuskan melakukan ritual puasa sehingga tidak sembarangan orang bisa melakoninya.
Dinamakan batik gentongan karena proses pembuatannya menggunakan gentong untuk pewarnaan kain.
Saat melakukannya pun diperlukan sesaji yang disiapkan di sekitar gentong yang akan dipendam di tanah. Ketika akan mengambilnya, waktunya tidak boleh pada saat ada tetangga yang meninggal karena dipercaya bisa berpengaruh pada kualitas warna kain.
Melestarikan budaya
Meskipun tergolong sulit, pemilik Batik Lavega Madura, Bangkalan, ini merasa perlu mempertahankan keberadaan batik gentongan. Sejak melanjutkan usaha batik milik orangtuanya pada tahun 2015, Fauzi ingin agar batik gentongan tetap diproduksi.
Bagi dia, usaha batik bukan sekadar mata pencarian keluarga dan tetangga sekitarnya. Membuat batik sama halnya dengan melestarikan budaya masyarakat Madura, terutama batik gentongan. Memproduksi satu lembar batik gentongan berarti menjaga mitos dan tradisi dari para leluhurnya. Selain masih memiliki pasar, pembuatan batik gentongan merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya.
Oleh sebab itu, sejak dipercaya melanjutkan usaha batik yang dirintis orangtuanya 30 tahun lalu, Fauzi mempertahankan produksi batik gentongan, selain tetap memproduksi batik tulis. ”Saya tidak terlalu bisa membatik, tetapi saya bisa mengelola dan menjual batik-batik ini agar batik gentongan tetap disukai masyarakat,” kata suami Riska Alvionita ini.
Dalam sebulan, setidaknya 25 lembar batik gentongan laku terjual. Pembelinya rata-rata berasal dari luar Pulau Madura karena Fauzi juga memasarkannya melalui dalam jaringan. Tak jarang, dia mengikuti berbagai pameran di Surabaya dan Jakarta untuk memperluas pasar.
Oleh karena cukup dikenal, batik gentongan yang diproduksi oleh Batik Lavega Madura dijadikan sebagai salah satu batik yang digunakan oleh Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Ulang Tahun Ke-74 RI pada Agustus 2019. ”Sebuah kehormatan bagi kami karena batik gentongan dari Madura ikut (dipakai) dalam perayaan kemerdekaan Indonesia,” ujar Fauzi.
Memberdayakan
Dalam memproduksi batik gentongan, Fauzi mengajak sejumlah perempuan di desanya yang rata-rata merupakan ibu rumah tangga. Mereka biasa membatik di kala menunggu suami berlayar mencari ikan di laut. Untuk setiap lembar batik gentongan, pembatik mendapatkan bagian 25 persen dari harga jual.
”Hasil dari membuat batik gentongan sebenarnya lumayan besar, tetapi memang membutuhkan waktu yang lama. Jadi, warga tetap membuat batik tulis agar mendapatkan penghasilan rutin tanpa harus menunggu hingga berbulan-bulan,” kata Fauzi.
Batik dari Lavega memiliki warna khas pesisir, yakni dominan merah dan motif burung. Namun, tidak tertutup kemungkinan untuk membuat motif lain, seperti Rongterong, Ramo, Perkaper, Serat Kayu, Tasekmalaya, serta Telenteh atau sapu lidi. Warna yang berkesan berani itu turut memberikan karakter berwibawa bagi para penggunanya.
Dalam memproduksi batik gentongan, Fauzi menilai, kini semakin sulit menemukan pembatik yang mampu memproduksi batik jenis tersebut. Rata-rata pembatik di tempat usahanya merupakan perempuan yang berusia sekitar 50 tahun. Pembatik muda semakin sulit ditemui karena regenerasi pembatik gentongan relatif sulit.
Selain itu, jumlah gentong yang dipakai untuk merendam batik terus berkurang. Saat ini di wilayah Tanjungbumi hanya tersisa lima gentong sehingga para pembatik harus bergantian menggunakannya. Untuk membuat gentong baru pun tidak mudah karena harus mengikuti ritual adat agar hasilnya maksimal.
Sesulit apa pun, Fauzi tetap berupaya mempertahankan produksi batik gentongan. Produknya diharapkan menjadi penawar rindu sekaligus oase bagi orang-orang yang mencarinya.
Fauzi berharap pemerintah membantu pelestarian batik gentongan dengan ikut memasarkan produknya serta meregenerasi pembatik gentongan. Sebab, batik gentongan telah menjadi ciri khas batik Madura yang telah dikenal masyarakat Indonesia dan dunia.