Terdapat secercah harapan bagi pasar modal mengingat proyeksi data ekonomi domestik dalam perjalanan tahun 2020 akan positif.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai sentimen, terutama yang berasal dari global, membuat Indeks Harga Saham Gabungan terjerembab hingga ke bawah level 6.000 pada penutupan perdagangan akhir pekan ini. Namun, terdapat secercah harapan bagi pasar modal mengingat proyeksi data ekonomi domestik dalam perjalanan tahun 2020 akan positif.
Pada penutupan perdagangan Jumat (31/1/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,94 persen atau 117,5 poin ke level 5.940,05. Posisi ini jadi level terendah IHSG sejak pertengahan Mei 2019.
Direktur PT Anugerah Megah Investama Hans Kwee menilai penurunan indeks dipicu berbagai sentimen yang membuat kondisi pasar tidak menentu. Sejumlah sentimen eksternal yang mengganggu persepsi investor di antaranya penyebaran virus korona, Brexit, serta pertumbuhan ekonomi Eropa di bawah harapan pasar pada triwulan IV-2019.
Sementara dari dalam negeri, kasus dugaan korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan penurunan kinerja PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri telah menambah kekhawatiran pelaku pasar.
”IHSG terdampak aksi jual oleh manajer investasi yang produknya di bubarkan di tahun lalu. Mengingat besarnya nilai portofolio serta belum kondusifnya pasar saham Indonesia membuat terjadi tekanan turunnya pasar saham,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Minggu (2/2/2020).
Di pasar global, sektor tambang mengalami koreksi di tengah kekhawatiran bahwa China dan pasar raksasa bahan baku akan terhenti jika epidemi virus korona semakin buruk. Adapun saham maskapai penerbangan juga memperpanjang koreksi karena lebih banyak akibat banyak maskapai melakukan penundaan penerbangan ke China.
Hans menilai Januari 2020 merupakan bulan anomali bagi pasar modal. Pasalnya secara historis periode Januari yang biasa disebut dengan istilah january effect kerap menjadi momentum penguatan IHSG akibat optimisme awal tahun.
”Melihat tekanan indeks global akibat wabah virus korona yang menyebar dengan cepat, IHSG sangat mungkin turun kembali pada pekan ini,” kata Hans.
Sepanjang Januari 2020, IHSG telah terdepresiasi 5,71 persen. Kondisi ini menjadi kinerja terburuk IHSG dalam sembilan tahun terakhir. Namun, analis Artha Sekuritas Indonesia, Dennies Christoper Jordan, menilai pada pekan pertama Februari akan terjadi mekanisme penguatan saham yang sifatnya sementara.
”Pada pekan pertama Februari akan terjadi penguatan saham yang tidak akan berlangsung lama. Itu lebih disebabkan karena pelemahan sekarang ini sudah memasuki fase jenuh jual,” tuturnya.
Penguatan ini ditopang oleh proyeksi inflasi Indonesia pada Januari 2020 yang diperkirakan masih stabil di kisaran 3 persen berbanding Januari 2019. Pada 5 Februari mendatang juga akan diumumkan data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan IV-2019 yang diprediksi masih di kisaran 5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Selain itu, lanjut Dennies, pernyataan Bank Indonesia terkait kesiapannya melakukan intervensi nilai tukar rupiah jika diperlukan akan menjadi sentimen positif bagi naiknya IHSG. Hal ini ditambah dengan kenaikan peringkat kredit Indonesia versi Japan Credit Rating (JCR) menjadi BBB+.
”Berbagai sentimen internal tersebut dapat menjadi penopang IHSG untuk kembali ke level 6.000 beberapa waktu mendatang,” katanya.
Efek pencairan
Head of Research MNC Sekuritas Edwin Sebayang menilai penurunan IHSG lebih disebabkan adanya pencairan atau penjualan kembali reksa dana dari beberapa manajer investasi. Turunnya batas keuntungan (limit margin) untuk transaksi saham pada mayoritas sekuritas turut memicu sentimen negatif.
”Situai ini mengakibatkan lemahnya perputaran transaksi dan investor tidak banyak bergerak,” katanya. Beberapa kasus reksa dana, seperti Jiwasraya dan Asabri, juga masih menahan investor untuk melakukan transaksi saham,” ujarnya.
Hal positif dari menurunnya IHSG, lanjut Edwin, investor dapat lebih leluasa membeli saham dengan rendah, tetapi harus tetap memperhatikan fundamental asli dari setiap saham. Investor tetap perlu memilih saham yang memiliki aksi korporasi yang dapat menaikkan pendapatan dan laba bersih dari perseroan sehingga keberlangsungan usaha terjamin.
”Jauhi saham-saham yang dipilih oleh manajer investasi yang tengah bermasalah. Saham dengan fundamental-fundamental yang baik patut menjadi pilihan para investor,” kata Edwin.