Gas Bebani Produksi
Meningkatkan daya saing jadi salah satu strategi menghadapi kondisi perekonomian yang tak menentu. Penurunan harga gas diperlukan.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri pengguna gas mengapresiasi rencana pemerintah menurunkan harga gas pada Maret 2020. Harga gas yang tinggi dinilai sebagai salah satu beban biaya produksi yang menurunkan daya saing industri.
Padahal, daya saing diperlukan di tengah kondisi perekonomian yang masih tidak menentu.
”Asaki menyambut baik rencana pemerintah segera menurunkan harga gas untuk industri keramik sesuai Perpres Nomor 40 Tahun 2016,” kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto kepada Kompas di Jakarta, Sabtu (1/2/2020).
Asaki optimistis harga gas 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) akan membantu meningkatkan daya saing industri keramik nasional. Daya saing untuk mendorong ekspor, yakni memanfaatkan peluang pasar Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Indonesia-Australia.
Daya saing juga dibutuhkan industri keramik nasional dalam menghadapi serbuan produk impor dari China, India, dan Vietnam. ”Utilisasi produksi nasional diharapkan bisa mulai bertahap naik kembali mendekati 90-93 persen, seperti di masa jaya industri keramik pada 2011-2013,” ujarnya.
Edy menambahkan, pada 2014, Indonesia pernah menjadi negara produsen keramik nomor lima terbesar di dunia di bawah China, India, Brasil, dan Spanyol. Namun, kini Indonesia di posisi kesembilan di bawah China, India, Brasil, Vietnam, Spanyol, Italia, Iran, dan Turki.
Daya saing juga dibutuhkan industri keramik nasional.
Saat ini Asaki memiliki 32 anggota industri keramik ubin dengan total kapasitas terpasang 537 juta meter persegi. ”Tingkat utilisasi 64,5 persen atau 347 juta meter persegi pada 2019,” ujarnya.
Edy mengatakan, biaya energi atau gas pada industri keramik sekitar 30-35 persen dari biaya produksi. Harga gas untuk industri keramik di Jawa bagian barat 9,16 dollar AS per MMBTU, Jawa bagian timur 7,98 dollar AS per MMBTU, dan Sumatera 9,3-20 dollar AS per MMBTU.
Diproyeksikan, penurunan harga gas menumbuhkan industri keramik 8-10 persen. Beberapa tahun terakhir, industri ini hanya tumbuh 3-4 persen.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, di lingkup industri agro, selain industri oleokimia, industri kertas sebenarnya meminta penurunan harga gas.
”Salah satu pertimbangan meminta penurunan harga gas adalah soal daya saing. Kalau gas di negara lain bisa murah, ketika diproses, maka harga kertas di sana juga lebih murah,” katanya.
Secara terpisah, pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyesuaikan harga gas untuk industri tertentu dinilai cukup taktis.
Namun, Pri Agung mengingatkan faktor-faktor lain yang juga perlu diperhatikan, antara lain penerimaan negara yang berkurang, upaya menjaga iklim investasi hulu migas, produktivitas industri yang didukung, serta volume gas.
Harga gas untuk industri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Dalam perpres itu, jika harga gas tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas tertentu.
Pri Agung menambahkan, harga gas di hulu sangat dipengaruhi karakteristik lapangan yang tidak bisa diseragamkan. Harga gas yang tinggi di suatu lokasi tidak selalu identik dengan inefisiensi, tetapi dapat disebabkan lapangan gas yang ada memang sulit dan mahal dalam pengembangannya.
”Kebijakan penurunan harga gas dapat dilakukan, tetapi perlu memperhatikan level harga dan harus tetap dapat menjaga iklim investasi hulu migas untuk keberlanjutan produksi dan pasokan gas,” katanya, di Jakarta, Minggu (2/2/2020).
Kebijakan penurunan harga gas akan menurunkan pendapatan negara secara signifikan. Untuk itu, pemanfaatannya harus dipastikan efisien. ”Harus dipastikan penurunan harga gas benar-benar dapat dimanfaatkan industri penggunanya secara efisien dan bernilai tambah tinggi bagi perekonomian nasional,” kata Pri Agung.
Di lain pihak, perlu dikaji opsi percepatan pembangunan infrastruktur gas oleh atau atas inisiasi pemerintah. Penurunan harga gas atau level harga gas yang efisien dapat dicapai apabila didukung ketersediaan infrastruktur gas yang memadai sehingga ada fleksibilitas, baik dari sisi suplai maupun pasar pengguna yang lebih luas jangkauannya.
Dalam Rapat Kerja Teknis Kementerian ESDM dengan Komisi VII DPR tanggal 27 Januari 2020, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menargetkan penurunan harga gas industri tertentu paling lambat Maret 2020.