Investor Atur Ulang Portofolio, IHSG Jadi Terjerembap
Penyebaran virus korona baru yang begitu cepat sempat membuat investor menunda transaksi saham atau ”wait and see”. Pelaku pasar tengah membuat proyeksi dari dampak penyebaran virus ini terhadap ekonomi global.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pengelola dana di pasar modal tidak tampak memburu instrumen saham untuk mengisi portofolio mereka di awal tahun. Berbagai sentimen negatif justru membuat investor melepas portofolio mereka untuk mengatur ulang strategi investasi.
Pada penutupan perdagangan Senin (3/2/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terjerembap ke level 5.884.17, turun 0,94 persen atau 55,87 poin dari penutupan perdagangan Jumat akhir pekan lalu. Investor asing pun mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 812,19 miliar.
Direktur Riset Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menilai, sejak awal Januari 2019, IHSG tersandung sejumlah sentimen global. Utamanya seperti panasnya hubungan politik antara Amerika Serikat (AS) dan Iran serta penyebaran virus korona baru.
Sementara dari dalam negeri, skandal keuangan dalam sejumlah bisnis industri asuransi jiwa juga merembet ke industri reksa dana. Hal ini otomatis mengganggu persepsi harga saham.
”Pada Februari ini investor juga masih memperhatikan sejumlah sentimen untuk bertransaksi di pasar modal, seperti rilis data ekonomi global, serta tren kebijakan suku bunga bank sentral dunia,” ujarnya.
Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi mengatakan, penyebaran virus korona baru yang begitu cepat sempat membuat investor menunda transaksi saham atau wait and see. Pelaku pasar tengah membuat proyeksi dari dampak penyebaran virus ini terhadap ekonomi global.
”Di sisi lain, adanya koreksi saham membuat ini menjadi saat yang tepat untuk kembali masuk ke pasar saham dengan nilai valuasi yang wajar,’’ ujar Lucky dalam hasil riset yang diterima Kompas.
Jika melihat secara historis, pengalaman di masa lalu ketika terjadi penyebaran virus SARS pada 2002-2003 dan flu burung pada 2005-2007 tidak berdampak bagi pasar saham dan obligasi. Namun, situasi saat ini berbeda mengingat posisi kuat China pada rantai ekonomi global.
Virus yang penyebaran awalnya berasal dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, ini disinyalir akan memengaruhi harga komoditas global. Pasalnya, saat ini ”Negeri Tirai Bambu” tersebut adalah importir terbesar untuk sejumlah komoditas, antara lain batubara, nikel, tembaga, gas, emas, dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Lucky khawatir, apabila penyebaran virus korona terjadi dalam periode yang panjang, hal itu akan mengganggu kinerja ekspor Indonesia. Kontribusi ekspor nonmigas terhadap total ekspor Indonesia selama ini sekitar 70 persen.
Apabila penyebaran virus korona terjadi dalam periode yang panjang, hal itu akan mengganggu kinerja ekspor Indonesia.
Adapun dampak dari penyebaran virus ini terhadap kinerja impor Indonesia dinilai Lucky tidak akan signifikan. Hal itu karena perusahaan di Hubei yang bisnisnya terkait dengan Indonesia, yakni Yangtze Optical Fible and Cable (YOFC) dan Xiaomi, juga memiliki fasilitas perakitan di Indonesia.
”Justru sebenarnya pandemi virus ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi manufaktur karena kinerja manufaktur China akan berkurang, terutama untuk baja dan serat optik,” ujarnya.
Meski menilai belum ada katalis kuat dari yang dapat mengangkat performa IHSG, analis Artha Sekuritas Indonesia, Dennies Christoper Jordan, percaya bahwa pada pekan pertama Februari akan terjadi mekanisme penguatan saham yang sifatnya sementara.
”Pada pekan pertama Februari akan terjadi penguatan saham yang tidak akan berlangsung lama. Itu lebih disebabkan pelemahan sekarang ini sudah memasuki fase jenuh jual,” katanya.
Pekan pertama Februari akan terjadi penguatan saham yang tidak akan berlangsung lama. Itu lebih disebabkan pelemahan sekarang ini sudah memasuki fase jenuh jual.
Dennies berharap, penguatan sementara tersebut dapat ditopang oleh proyeksi inflasi Indonesia pada Januari 2020 yang diperkirakan masih stabil di kisaran 3 persen berbanding Januari 2019. Pada 5 Februari juga akan diumumkan data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan IV-2019 yang diprediksi masih di kisaran 5 persen.