Regulasi memang tak spesifik mengatur soal kemacetan di jalan tol. Namun, faktanya di tol kerap macet, khususnya di dalam kota. Kemacetan juga menjadi keluhan utama pengguna sehingga standar minimal tak terpenuhi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemacetan di jalan tol banyak dikeluhkan pengguna jalan tol. Hal itu mestinya menjadi pertimbangan dalam mengevaluasi standar pelayanan minimum atau SPM sebelum penyesuaian tarif tol.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi di Jakarta, Senin (3/2/2020), mengatakan, kemacetan menjadi hal yang mendominasi keluhan masyarakat untuk tol perkotaan, seperti di ruas Tol Dalam Kota Jakarta (JIUT).
Regulasi mengenai jalan tol tidak secara spesifik mengatur mengenai kemacetan yang terjadi di jalan tol atau yang disebut sebagai jalan bebas hambatan, tetapi mengenai kecepatan rata-rata. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol disebutkan, tol antarkota didesain berkecepan paling rendah 80 kilometer per jam, sedangkan tol perkotaan 60 km per jam.
”Faktanya di lapangan adalah kemacetan. Sementara di regulasi hanya menyebutkan kecepatan rata-rata. Jadi, kalau mengacu SPM, seperti di ruas Tol Dalam Kota, sudah tidak mampu memenuhi kecepatan minimum. Dengan demikian, seharusnya tarifnya tidak bisa naik karena kecepatan rata-ratanya tidak bisa terpenuhi,” kata Tulus Abadi.
Belum lama, lima ruas tol mengalami penyesuaian tarif. Kelimanya adalah Tol Dalam Kota Jakarta (JIUT), Tol Pondok Aren-Serpong, Tol Gempol-Pandaan, Tol Ujung Pandang seksi I dan II, dan Tol Bali Mandara. Tarif baru di kelima ruas tersebut diterapkan mulai 31 Januari pukul 00.00.
Keluhan lainnya adalah terkait antrean kendaraan di gerbang tol. Tulus Abadi menilai, waktu yang dibutuhkan untuk transaksi secara manual ataupun dengan uang elektronik tidak berbeda jauh. Akibatnya, masih terdapat antrean transaksi di gerbang tol. Sementara untuk jalan tol antarkota, keluhan pengguna tol adalah mengenai kondisi jalan yang bergelombang.
Terkait dengan penyesuaian tarif jalan tol, kata Tulus Abadi, regulasi mensyaratkan perhitungan inflasi daerah setempat dan 8 indikator SPM. Delapan indikator SPM tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 16 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimum Jalan Tol, yakni mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan atau penyelamatan dan bantuan pelayanan, lingkungan, serta tempat istirahat dan tempat istirahat dan pelayanan (TIP).
Menurut Tulus Abadi, selama ini masyarakat tidak mengetahui standar pemenuhan SPM jalan melalui kedelapan indikator tersebut. Demikian pula masyarakat tidak mengetahui sejauh mana pengelola jalan tol memenuhi SPM tersebut karena evaluasi tidak dibuka kepada publik.
”Jadi setiap 2 tahun itu bukan untuk dinaikkan tarifnya, melainkan dievaluasi. Jadi bisa saja tarif sebuah ruas tol tidak naik kalau tidak memenuhi SPM,” ujar Tulus Abadi.
Terkait dengan hal itu, menurut Tulus Abadi, terdapat ketidaksetaraan regulasi di jalan tol. Jika penyesuaian tarif tol diatur dalam regulasi berupa peraturan pemerintah (PP), sementara untuk standar pelayanan minimum (SPM) diatur dalam Peraturan Menteri PU yang kedudukannya lebih rendah dibandingkan PP.
Padahal, SPM terkait erat dengan hak konsumen atau pengguna jalan tol. Mestinya, regulasi mengenai SPM setara dengan regulasi mengenai penyesuaian tarif tol.
Secara terpisah, Kepala Keasistenan Substansi VI Ombudsman RI Irsan Hidayat mengatakan, sepanjang 2018-2019, terdapat dua laporan atau pengaduan terkait jalan tol. Laporan pertama terkait kenaikan tarif di ruas Tol Jakarta-Cikampek akibat dari pemindahan Gerbang Tol Cikarang Utama ke GT Cikampek Utama. Laporan berikutnya mengenai penyelesaian pembayaran untuk pembangunan ruas Tol Solo-Kertosono.
”Untuk laporan kenaikan tarif tersebut, kami lakukan klarifikasi kepada operator jalan tol, yakni Jasa Marga, dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Setelah mendapat penjelasan dan kami tidak menemukan mala-administrasi, laporan pengaduan ditutup,” kata Irsan.
Menurut Irsan, setiap laporan yang masuk ke Ombudsman RI selalu ditelaah dan diklarifikasi kepada pihak bersangkutan. Jika ditemukan mala-administrasi, Ombudsman RI akan memberikan saran, termasuk sampai pencabutan kebijakan.
Sementara itu, Kepala BPJT Danang Parikesit mengatakan, dari kajian yang dilakukan BPJT, pengguna tol lebih sensitif terhadap kemacetan di jalan tol dibandingkan isu kenaikan tarif. Kemacetan lebih menjadi perhatian karena pengguna tol telah mengeluarkan dana untuk melewati jalan tol.
Oleh karena itu, kata Danang, peningkatan layanan terkait ketepatan waktu inilah yang menjadi fokus BPJT ke depan. Dengan semakin banyaknya jaringan jalan tol yang selesai, seperti Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) 2 yang dijadwalkan selesai tahun ini, kendaraan diharapkan dapat semakin terdistribusi.