Korona Bisa Sebabkan Indonesia Kehilangan Devisa Wisata Rp 2,5 Triliun
BPS mencatat, China menempati urutan kedua asal kunjungan wisman terbanyak selama 2019 dengan jumlah 2,072 juta kunjungan. Jika berkurang sekitar 50 persen saja, Indonesia bisa kehilangan potensi devisa Rp 2,5 triliun.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan perjalanan ke luar negeri oleh Pemerintah China kepada warga China akan berdampak pada total kunjungan turis asing ke Indonesia tahun ini. Jika kunjungan wisatawan asal China berkurang 50 persen, pendapatan devisa Indonesia berpotensi hilang sekitar Rp 2,5 triliun.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, Senin (3/2/2020), mengatakan, kalau ada larangan dari Pemerintah China, hal itu pasti akan berpengaruh terhadap jumlah wisatawan asal ”Negeri Tirai Bambu”. Setahun terakhir ini, wisatawan asal China menyumbang 12 persen dari total kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dari seluruh dunia ke Indonesia.
”Porsinya hampir 12 persen, lumayan tinggi. Dari 16 juta kunjungan, jumlah wisatawan asal China sekitar 2 juta,” katanya saat merilis laporan ”Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional periode Desember 2019” di Jakarta.
China menempati urutan kedua asal kunjungan wisman terbanyak selama 2019 dengan jumlah 2,072 juta kunjungan setelah Malaysia dengan 2,98 juta kunjungan (18,51 persen). Secara tahunan, jumlah kunjungan wisman turun 3,14 persen atau sekitar 67.000 kunjungan dibandingkan dengan tahun 2018.
Menurut data Bank Indonesia, rata-rata wisatawan China yang mengunjungi Bali menghabiskan uang sekitar Rp 9,7 juta setiap kedatangan pada 2018.
Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, memproyeksikan, Indonesia bisa kehilangan banyak potensi devisa karena wisman China lebih suka datang pada triwulan pertama dan ketiga.
Berdasarkan data BPS tiga tahun terakhir, rata-rata kunjungan wisatawan China di triwulan pertama sekitar 532.000 kunjungan. ”Bila kedatangan wisatawan China berkurang sekitar 50 persen saja, kita berpotensi kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata sekitar Rp 2,5 triliun,” ujarnya.
Bila kedatangan wisatawan China berkurang sekitar 50 persen saja, kita berpotensi kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata sekitar Rp 2,5 triliun.
Selama 2019, selain dari China, juga terjadi penurunan jumlah kunjungan wisman asal beberapa negara. Wisman Timor Leste, misalnya, turun 33,14 persen dari total 1,76 juta kunjungan pada 2018 menjadi 1,17 juta kunjungan pada 2019.
Penurunan jumlah kunjungan juga terjadi pada wisman asal Hong Kong, yakni 44 persen dengan posisi akhir sekitar 50.000 kunjungan. Penurunan paling besar berasal dari Papua Niugini, yakni minus 45 persen sampai 78.000 kunjungan pada 2019 dari 142.000 kunjungan tahun sebelumnya.
Garap pasar lain
BPS melaporkan, pada 2019, kedatangan wisman asal Uni Emirat Arab (UEA), Rusia, dan Benua Amerika mencatat kenaikan pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan itu menyumbang kenaikan jumlah wisman sebesar 1,88 persen, sampai 16,11 juta kunjungan.
Wisman asal UEA naik 27,68 persen dibandingkan dengan total pertumbuhan wisman asal Timur Tengah yang minus 1,16 persen. Wisman asal Rusia naik 26,42 persen, hampir sembilan kali lipat dari total pertumbuhan wisman asal Eropa (3,23 persen). Empat negara di Benua Amerika bahkan mencatatkan pertumbuhan di atas 5 persen.
Ketua Umum Gabungan Industri Perhotelan Indonesia (GIPI) Didin Junaedi mengatakan, pasar tersebut masih berpotensi meningkat tahun ini. Wisman dari Timur Tengah akan makin banyak walau jumlahnya tidak signifikan.
”Menariknya, mereka biasanya berlibur bersama keluarga karena Indonesia punya pemandangan yang bagus,” ucapnya.
Didin menambahkan, wisman dari Timur Tengah semakin tertarik pada Indonesia karena Indonesia memiliki karakter yang sesuai dengan wisman asal negara tersebut. Hal ini perlu ditopang terus dengan menggiatkan promosi wisata oleh industri pariwisata sehingga dapat meningkatkan kunjungan dari negara potensial lainnya.