Perbaiki Iklim Investasi Indonesia agar Siap Saat Ekonomi China Bangkit
Terhentinya aktivitas ekonomi di China sementara ini, menurut Shinta, bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk memperbaiki iklim usaha dan investasi. Upaya itu perlu untuk mengantisipasi pulihnya perekonomian China.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merebaknya wabah virus korona jenis baru yang menghentikan aktivitas pariwisata dan sebagian industri di China sejak akhir Januari dinilai belum berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Sementara itu, Indonesia perlu memperbaiki iklim investasi dalam negeri untuk mengantisipasi pulihnya perekonomian China.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani, Senin (3/2/2020), mengatakan, wabah virus korona membuat Indonesia tidak dapat menikmati keuntungan dari pemulihan ekonomi China pasca-perjanjian perdagangan tahap pertama antara China dan Amerika Serikat (AS) pada 14 Januari 2020.
Wabah menyebabkan permintaan China dari negara lain, termasuk Indonesia, tidak berkembang sebagaimana proyeksi perjanjian perdagangan sebelumnya. Arus impor dari China juga melambat karena pembatasan pergerakan orang dan barang oleh pemerintah setempat.
”Contoh saja, saat Imlek kemarin, permintaan China terhadap barang cepat habis dari seluruh dunia seharusnya meningkat. Akan tetapi, wabah ini membuat permintaan tidak meningkat terlalu signifikan,” ujarnya.
Indonesia adalah negara pengekspor terbesar urutan ke-15 ke China. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, selama periode Januari-November 2019, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 31,42 miliar dollar AS. Nilai itu lebih rendah daripada pencapaian impor barang dari China sebesar 40,99 miliar dollar AS.
Sementara itu, realisasi investasi China di Indonesia hingga triwulan III-2019, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal, mencapai 1.888 proyek senilai 3,31 miliar dollar AS. Investasi itu meningkat dibandingkan pada periode sama tahun 2018 yang hanya mencapai 1.059 proyek dengan nilai 1,83 miliar dollar AS.
Terhentinya aktivitas ekonomi di China sementara ini, menurut Shinta, bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk memperbaiki iklim usaha dan investasi. Upaya itu perlu untuk mengantisipasi pulihnya perekonomian China pascawabah selesai.
”Indonesia harus bisa mengambil momentum tersebut untuk meningkatkan produktivitas industri dan ekspor nasional. Juga untuk memperbaiki kinerja ekonomi kita sendiri di tahun ini,” kata Shinta.
Tahun lalu, Bank Dunia melaporkan, peringkat Indonesia dalam indeks kemudahan berbisnis (ease of doing business/EODB) masih stagnan pada posisi ke-73, seperti pada 2018. Kemudahan berbisnis di Indonesia pada 2019 naik 1,64 poin menjadi 67,96 dari tahun 2018. Hal itu didukung perbaikan sistem perpajakan hingga digitalisasi sistem perizinan.
Sulit diprediksi
Sejauh ini, dampak ekonomi China terhadap dunia masih sulit diprediksi oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, pekan lalu, di Davos, Swiss, mengatakan, posisi China cukup sulit jika dibandingkan dengan ketika wabah SARS menyerang pada 2002-2003.
”Mengacu pada periode terjadinya epidemi SARS, kondisi itu memperlambat pertumbuhan dalam jangka pendek. Setelah selesai, pertumbuhan ekonomi naik lagi sepanjang tahun itu. Apakah itu akan terjadi dengan kondisi sekarang? Sangat sulit diprediksi,” katanya.
Sebelum SARS merebak, ekonomi China sedang dalam kondisi prima. Berbeda dengan saat ini, ekonomi China baru mulai bangkit dari konflik perdagangan dengan AS. Januari ini, IMF baru saja menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 5,8 persen.
Namun, wabah kali ini diakui sulit diprediksi karena infeksi yang sulit dideteksi. Pemerintah China pun mengambil langkah agresif dengan menutup kegiatan wisata dan manufaktur, yang berpengaruh pada negara lain.
”Bisa dikatakan, pada triwulan pertama tahun ini akan ada beberapa dampak negatif. Kita hanya perlu mengobservasi dan mengevaluasi,” kata Kristalina Georgieva.
Berdasarkan data Bank Dunia, pertumbuhan domestik bruto (PDB) China pada 2003 naik hingga 10,03 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya 9,1 persen (naik 0,83 persen). Pascawabah SARS, pertumbuhan di tahun berikutnya hanya naik 0,08 persen menjadi 10,11 persen dengan nilai 1,95 triliun dollar AS.
Pada 2018, nilai PDB China mencapai 13,6 triliun dollar AS dengan pertumbuhan tahunan 6,5 persen. Turunnya pertumbuhan dinilai IMF relatif mulus dengan porsi PDB yang terus membesar.