Wewenang Penerbitan Izin dan Pemberian Insentif Dialihkan ke BKPM
Seluruh pengajuan izin berusaha dan pemberian fasilitas investasi dialihkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal mulai hari ini, Senin (3/2/2020).
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh pengajuan izin berusaha dan pemberian fasilitas investasi dialihkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal mulai hari ini, Senin (3/2/2020). Pengalihan wewenang ini diharapkan mempercepat prosedur berinvestasi di Indonesia.
Pengalihan wewenang dari 25 kementerian/lembaga ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2019 tentang percepatan kemudahan berusaha. Inpres tersebut berlaku mulai 3 Februari 2020.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, penerbitan izin berusaha dan pemberian fasilitas investasi kini tanggung jawab BKPM. Tidak ada lagi perizinan dan fasilitas investasi yang diterbitkan setiap kementerian/lembaga. Seluruh prosedur dilakukan satu pintu agar lebih cepat dan efisien.
”Sekarang pengusaha sudah ada kepastian bahwa mereka tidak perlu lagi berputar-putar ke seluruh kementerian/lembaga, cukup datang ke BKPM,” kata Bahlil seusai diskusi bertajuk membangun optimisme dan peluang di tengah ketidakpastian, Senin, di Jakarta.
Sebelumnya, BKPM hanya bertugas sebagai ”tempat” pengajuan perizinan dan fasilitas investasi. Wewenang pemberian izin dan fasilitas investasi berada di kementerian/lembaga terkait. Akibatnya, pengusaha acap kali mendatangi kementerian/lembaga secara langsung untuk mendapat kepastian.
Bahlil mengatakan, saat ini BKPM berwenang menentukan tenggat penerbitan izin dan memutuskan pemberian fasilitas investasi, termasuk insentif fiskal. Pemberian insentif fiskal untuk pengusaha tidak lagi menunggu keputusan Kementerian Keuangan. Insentif fiskal akan diberikan BKPM sepanjang pengusaha memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
”Secara sistem, ada orang-orang teknis yang mewakili kementerian/lembaga untuk berkantor di BKPM,” ujar Bahlil.
Selain itu, BKPM juga mengambil alih wewenang penerbitan izin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi. Seluruh pengajuan izin berusaha dan fasilitas investasi dilakukan oleh dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu—perpanjangan tangan BKPM di tingkat daerah.
Bahlil menyebutkan, pengalihan wewenang terkait investasi ke BKPM diharapkan memperbaiki iklim berusaha di Indonesia. Ada tiga aspek yang harus dipenuhi pemerintah untuk dunia usaha, yaitu kecepatan, kemudahan, dan efisiensi. Dengan demikian, target investasi padat karya bisa tercapai.
Berdasarkan data BKPM, target investasi pada 2019 sebesar Rp 792 triliun yang terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 483,7 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 308,3 triliun. Sementara realisasi investasi pada Januari-September 2019 sebesar Rp 601,3 triliun yang terdiri dari PMA Rp 317,8 triliun dan PMDN Rp 283,5 triliun.
Adapun tenaga kerja yang terserap dari realisasi investasi pada Januari-September 2019 sebanyak 703.296 orang.
Prioritas investasi
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, belakangan investasi yang masuk ke Indonesia bernilai besar, tetapi tidak padat karya. Investasi padat karya banyak masuk ke Vietnam dan Bangladesh. Hal itu memengaruhi serapan tenaga kerja Indonesia.
”Saat ini masih ada 7 juta tenaga kerja yang menganggur. Karena itu, daya saing Indonesia harus ditingkatkan,” ujar Airlangga.
Selain menyederhanakan perizinan, pemerintah tengah menyusun daftar prioritas investasi. Daftar prioritas investasi akan merevisi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau disebut daftar negatif investasi.
Airlangga mengatakan, sejauh ini belum ditetapkan bidang usaha yang akan terbuka dan tertutup bagi investasi asing. Namun, dipastikan daftar tertutup investasi akan lebih sedikit dari saat ini yang berjumlah 20 bidang usaha dan terbuka dengan persyaratan berjumlah 495 bidang usaha. Investasi di Indonesia sangat tertutup dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
”Jumlah bidang usaha yang tertutup maupun bidang usaha terbuka dengan persyaratan di Indonesia terbanyak di antara negara ASEAN,” ucap Airlangga.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat, penyusunan daftar prioritas investasi harus diiringi perbaikan masalah-masalah fundamental. Selama ini banyak masalah dalam berinvestasi yang tak kunjung diperbaiki pemerintah, seperti kepastian hukum, pengadaan lahan, biaya logistik, insentif fiskal, pasokan energi, dan sistem pengupahan.
Menurut Heri, berbagai masalah itu menyebabkan biaya investasi untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi relatif mahal. Kondisi ini tecermin dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang cukup tinggi, yakni 6,3. Oleh karena itu, perbaikan hambatan berinvestasi menjadi keniscayaan.
ICOR merupakan rasio investasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi ICOR, biaya investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi semakin mahal.