Animo Masuk Bursa Tinggi meski Gejolak Pasar Belum Reda
Otoritas juga tengah bekerja keras meningkatkan integritas pasar, terutama untuk mencegah lebih banyak lagi investor ritel menjadi korban.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tingginya volatilitas pasar saham, sedikitnya 57 perusahaan ditargetkan untuk masuk antrean penjualan saham perdana di Bursa Efek Indonesia pada 2020. Namun, animo perusahaan untuk masuk ke lantai bursa tidak didukung animo investor dalam menyerap emisi di instrumen saham.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 30 Januari 2020, sedikitnya 29 perusahaan telah melakukan penawaran umum saham perdana (IPO). Mayoritas berasal dari sektor properti, real estat, dan konstruksi.
Hingga Jumat (7/2/2019), sembilan emiten telah melakukan IPO tahun ini. Emiten terbaru yang melantai di bursa saham hari ini adalah PT Pratama Widya Tbk. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi tersebut berpotensi meraup dana segar dari pasar modal hingga Rp 114,16 miliar.
Sepanjang Januari terdapat delapan perusahaan yang telah melantai di pasar modal, yakni PT Rajawali Kencana Tbk, PT Diamond Food Indonesia Tbk, PT Perintis Triniti Properti Tbk, PT Ashmore Asset Management Tbk, PT Royalindo Investa Wijaya Tbk, PT Bank Amar Indonesia Tbk, PT Cisadane Sawit Raya Tbk, dan PT Tourindo Guide Indonesia Tbk.
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi optimistis banyak calon emiten yang melantai meski pasar modal tengah diliputi ketidakpastian. Otoritas menargetkan, sampai akhir tahun 2020 akan ada 79 instrumen yang tercatat di pasar modal, baik saham maupun surat utang.
”Pasar modal domestik masih menjanjikan meskipun pasar modal regional tengah melesu akibat berbagai sentimen, terutama merebaknya virus korona baru,” kata Inarno seusai peresmian penjualan saham perdana perusahaan Pratama Widya.
Tetap selektif
Di tengah besarnya animo calon emiten untuk melakukan IPO, otoritas bursa tetap selektif dalam menjaga proses IPO. BEI memutuskan untuk menunda proses IPO dari PT Nara Hotel Internasional setelah mendapat laporan ada kecurangan berupa penggelembungan nilai (mark up) dalam pencatatan aset perusahaan.
Selain itu, investor mengeluhkan ada ketidakadilan penjatahan saham dalam penawaran umum. ”Kami belum putuskan sanksi. Saat ini kami sedang melakukan penyelidikan bersama OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” ujar Inarno.
Analis Indo Premier Sekuritas, Mino, mengatakan, meski antrean calon emiten untuk melakukan IPO cukup panjang, kondisi pasar masih belum kondusif untuk menyerap saham-saham baru dengan emisi besar. Situasi ini tecermin dari nilai emisi emiten-emiten baru tahun ini belum ada yang berukuran jumbo atau lebih dari Rp 500 miliar.
”Untuk membeli saham lama yang sudah tercatat saat ini saja investor punya banyak pertimbangan. Apalagi bila harus membeli saham emiten yang baru IPO. Calon emiten akan kesulitan mendapatkan dana kecuali penjamin efek sudah menemukan standing buyer (pembeli siaga) bagi kliennya,” kata Mino.
Sementara itu, Direktur PT Anugrah Mega Investasi Hans Kwee mengatakan, pasar modal memang masih akan menurun. Hal tersebut terjadi karena dampak beberapa kasus yang membayangi dari domestik, seperti reksa dana yang dibubarkan, saham gorengan, serta akun-akun yang dibekukan.
Namun, di sisi lain, otoritas juga tengah bekerja keras meningkatkan integritas pasar, terutama untuk mencegah lebih banyak lagi investor ritel menjadi korban. Dia menekankan, hal ini dapat menjadi penyeimbang kondisi pasar sehingga IPO diproyeksikan masih akan ramai pada triwulan I-2020.
Direktur Mandiri Sekuritas Andy Bratamihardja tidak menampik adanya kekhawatiran calon investor akibat tingginya volatilitas pasar saham dan pasar keuangan saat ini. Namun, mandat yang diterima perusahaannya untuk menjamin emisi sejumlah calon emiten di pasar modal masih sesuai proyeksi.
”Setidaknya, satu dari empat mandat yang kini digenggam Mandiri Sekuritas akan tetap melaju ke bursa pada semester I-2020, yang menggunakan buku Desember 2019,” ujarnya.
Namun, menurut Andy, investor asing lebih mencermati surat utang pendapatan tetap (fixed income) ketimbang instrumen saham, seiring dengan tren penguatan rupiah dan terjaganya level inflasi. Terlebih lagi, penerbitan surat utang di awal tahun ditopang oleh strategi restrukturisasi utang dari perusahaan-perusahaan tercatat.