Renegosiasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Akan Pacu Investasi
Perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) akan meningkatkan daya tarik investasi Indonesia. Tax treaty juga memberikan fasilitas berupa penurunan tarif pajak untuk pendapatan dari dividen, bunga, dan royalti.
Oleh
karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan Singapura berkomitmen mengurangi hambatan investasi melalui renegosiasi perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty. Pada 2020, pengurangan hambatan investasi di bidang perpajakan ini akan dilakukan pada 19 negara lain.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan, tax treaty diperlukan untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap pelaku usaha antarnegara. Hak pemajakan diatur hanya oleh negara asal atau negara tujuan investasi.
”Tax treaty tujuannya untuk membagi hak pemajakan antarnegara sehingga pelaku usaha tidak dikenai pajak berganda,” kata Poltak dalam diskusi bertajuk ”Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P2B) untuk Peningkatan Investasi” di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Sejauh ini, Indonesia memiliki tax treaty bersama 90 negara sejak 1983. Beberapa tax treaty perlu renegosiasi karena dinilai tidak lagi relevan dengan dinamika perkembangan ekonomi dan standar perpajakan internasional terkini. Renegosiasi tax treaty terbaru dilakukan Indonesia bersama Singapura pada pekan ini.
Poltak menambahkan, renegosiasi tax treaty bukan hal mudah. Proses renegosiasi Indonesia-Singapura dilakukan lima kali putaran sejak Juli 2015. Setiap negara memiliki kepentingan hak pemajakan, terutama terkait penurunan tarif pajak royalti dan pajak penghasilan atas laba setelah pajak (branch profit tax/BPT).
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan mengatakan, renegosiasi tax treaty akan meningkatkan daya tarik investasi Indonesia. Selain menghindari pengenaan pajak berganda, tax treaty memberikan fasilitas berupa penurunan tarif pajak untuk pendapatan dari dividen, bunga, dan royalti.
”Jika tidak ada tax treaty, pendapatan dari dividen, bunga, dan royalti yang diterima oleh negara lain akan dikenai pajak sebesar 20 persen sesuai peraturan Indonesia,” ucapnya.
Selain menghindari pengenaan pajak berganda, tax treaty memberikan fasilitas berupa penurunan tarif pajak untuk pendapatan dari dividen, bunga, dan royalti.
Renegosiasi tax treaty antara Indonesia dan Singapura antara lain menyepakati penurunan tarif pajak penghasilan atas laba setelah pajak dari 15 persen menjadi 10 persen, tarif pajak royalti dari 15 persen menjadi 8-10 persen, pengecualian pemerintah untuk penghasilan bunga, serta keuntungan (capital gain) atas penjualan aset.
Dorong investasi
Menurut Rofyanto, renegosiasi tax treaty Indonesia-Singapura diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi asing langsung ke Indonesia. Hal itu karena Singapura adalah negara penyumbang investasi asing terbesar di Indonesia, yakni sekitar 24,5 persen. Investasi Singapura di Indonesia terkonsentrasi di sektor manufaktur dan keuangan.
”Singapura akan memosisikan dirinya sebagai hub investasi di regional. Mereka akan menjadi pangkalan investasi dan diharapkan sebagian investasi itu dialihkan ke Indonesia,” kata Rofyanto.
Rofyanto menambahkan, renegosiasi tax treaty ini sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rancangan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan untuk mengundang investasi. Renegosiasi tax treaty juga sebagai upaya menutup celah penghindaran dan pengelakan pajak.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, mengatakan, renegosiasi tax treaty tidak serta-merta dapat menarik investasi masuk ke Indonesia. Sistem perpajakan domestik dan iklim investasi tetap harus diperbaiki secara berkelanjutan dan konsisten.
”Tax treaty bukan faktor dominan, tetapi pelumas aliran investasi,” kata Bawono.
Tujuan tax treaty untuk menarik investasi terefleksi dalam penurunan tarif pajak untuk pendapatan dari dividen, bunga, dan royalti. Namun, sejauh ini, belum ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa tax treaty mampu menarik investasi secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini masih diperdebatkan.