Bisnis pemesanan dan pengantaran makanan melonjak. Kini, seiring pertumbuhan bisnis ini, muncul pertanyaan tentang keamanan pangan yang dipesan dan dikonsumsi masyarakat.
Oleh
Andreas Maryoto
·3 menit baca
Fenomena jasa pengantaran makanan secara dalam jaringan merebak di berbagai belahan dunia. Orang mau membayar lebih hanya demi mendapatkan makanan, tetapi tetap santai di rumah atau kantor. Meski demikian, kini mulai muncul pertanyaan kritis tentang penanggung jawab keamanan pangan, mulai dari makanan di produksi, kemudian dikemas, lalu diantar ke tujuan hingga dibuka dan dikonsumsi konsumen.
Pertengahan tahun lalu, sidang di pengadilan Singapura meneliti kasus kematian warganya yang meninggal pada 14 November 2018 setelah mengonsumsi makanan yang dipesan secara daring dan diantar melalui jasa pengiriman.
Dalam sidang itu muncul fakta, warga ini mengonsumsi makanan tiga jam setelah makanan datang. Padahal, pihak restoran telah mengingatkan konsumsi makanan harus dilakukan satu jam setelah makanan tiba.
Saksi dari Kementerian Kesehatan setempat mengatakan, makanan yang keluar dari suhu ruang di Singapura bisa mempercepat pembiakan mikrobia. Tambahan dari ahli epidemiologi menyebutkan, kemungkinan jarak waktu antara penyiapan dan dikonsumsi bisa berkontribusi pada kematian orang tersebut. Namun, ada fakta lain, yaitu tujuh kasus keracunan makanan yang berhubungan dengan penjualan dari restoran itu pada 6-9 November 2018.
Belakangan, sejumlah kalangan mulai peduli dengan kemungkinan potensi masalah, misalnya keracunan makanan, kualitas makanan yang tidak bersih akibat pengantaran yang buruk, dan keterlambatan pengiriman yang bisa menyebabkan makanan rusak.
Perhatian ini muncul karena bisnis order makanan secara daring dan jasa pengirimannya melonjak. Secara global, nilai bisnis pengantaran makanan secara daring 300 miliar dollar AS. Di Asia Tenggara, bisnis ini merupakan bisnis yang dijalankan dua pelaku besar, yaitu Gojek dan Grab. Tahun lalu, Gojek setidaknya menggandeng 400.000 pelaku bisnis makanan.
Mereka yakin, bisnis pengantaran makanan akan lebih besar dibandingkan dengan bisnis pemesanan pengantaran atau transportasi orang secara daring. Potensi pengantaran makanan masih besar karena di Indonesia baru 1,3 persen dari bisnis makanan secara umum, sedangkan di Amerika Serikat 8 persen dan di China 12 persen. Layanan pengantaran makanan juga menarik beberapa investor masuk ke bisnis ini.
Lonjakan bisnis order makanan ini membutuhkan kepastian keamanan pangan, baik dari pembuat, pengantar, maupun kesadaran konsumen untuk menyimpan secara benar. Isu ini muncul sejak beberapa tahun lalu, tetapi tidak terlalu mendapat perhatian. Saatnya isu keamanan pangan diangkat ketika bisnis ini telah membesar.
Dua tahun lalu mulai diadakan pelatihan keamanan pangan di bisnis pengantaran makanan. Dalam materi itu ditekankan, meski pihak pengantar makanan bisa menghindar dari masalah komplain keamanan pangan, nama baik perusahaan akan terkena jika ada yang salah dalam pengantaran itu.
Oleh karena itu, perusahaan pengantaran makanan secara daring harus meningkatkan level keamanan pangan selama pengiriman. Di hulu, perusahaan jasa pengantaran ini juga harus bekerja sama dengan rumah makan atau restoran yang bisa dipercaya.
Mereka harus mulai memantau masalah kesehatan yang muncul di masyarakat dan memberi alternatif menu yang tidak merusak kesehatan. Misalnya, memberi tahu kemungkinan makanan yang menimbulkan alergi, menu vegetarian, porsi nasi, dan juga makanan bebas gluten. Pada masa mendatang, perusahaan pengantaran makanan harus mempunyai akses untuk mengecek keamanan pangan.
Perusahaan jasa pengantaran makanan secara daring juga mulai berhati-hati dengan jarak pemasok-konsumen. Jarak yang terlalu jauh bisa memunculkan masalah karena makanan di udara bebas dalam waktu lama akan mempercepat pembiakan mikrobia.
Patokan umum, mikrobia bisa bertambah dua kali lipat setiap 10-20 menit. Untuk memecahkan masalah ini, perlu dikenalkan kemasan standar. Lebih dari itu, perusahaan harus mulai mendisiplinkan pengantar dalam cara mengantar makanan yang benar sehingga tidak menimbulkan masalah keamanan pangan dan etika.
Perusahaan jasa pengantaran di Indonesia mungkin bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk membangun sistem keamanan pangan sehingga levelnya meningkat. Perubahan mungkin tidak bisa dilakukan terlalu drastis karena menyangkut beragam level pengetahuan pemasok makanan dan pengetahuan pengantar. Namun, perlu inisiatif yang makin meyakinkan semua pihak bahwa keamanan dalam pengantaran makanan makin meningkat dan berusaha menjamin kesehatan konsumennya.